Apa yang dilakukan OPM adalah pelanggaran HAM berat.
Jakarta (ANTARA) - "Saya akan tindak tegas atas apa yang dilakukan oleh OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara," ucap Panglima TNI Jendral Agus Subiyanto di Jakarta, Rabu (10/3).

Ucapan tegas Panglima TNI itu menjadi tanda dimulainya babak baru penumpasan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Pengubahan penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi OPM oleh Pemerintah dapat dilihat sebagai keseriusan negara dalam upaya memberangus kelompok keras ini.

Dalam Rapat Koordinasi Kementerian Polhukam pada 29 April 2021 disepakati, penyebutan OPM menjadi KKB atau Kelompok Separatis Teroris (KST). Namun, per tanggal 5 April 2024, TNI mengembalikan status dan penyebutan KKB menjadi OPM.

TNI tidak bisa lagi menoleransi atas apa yang telah dilakukan OPM karena sasaran tindak kekerasan mereka bukan hanya kepada anggota personel TNI dan Polri, melainkan warga sipil.

Bahkan di beberapa tempat, Agus menyebut OPM juga melakukan pemerkosaan terhadap beberapa guru hingga tenaga kesehatan yang ada di pedalaman.

Tindakan para anggota OPM ini makin keji, gelap mata, hingga tidak sadar yang dia serang adalah saudara serumpun sendiri.

Karena itu, TNI menegaskan negara tidak akan kalah dengan OPM.

Semenjak saat itu, TNI dan Polri yang tergabung dalam Satgas Damai Cartenz mulai bergerilya memburu para pemberontak.

Pada 11 Maret 2024, Satgas Damai Cartenz berhasil melumpuhkan dua anggota aktif OPM di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, jaringan Kopi Tua Heluka dan Yotam Bugiangge.

Dua orang yang dilumpuhkan yakni yakni Afrika Heluka dan Toni Wetapo alias Toni Giban. Tidak hanya itu, Satgas juga berhasil menangkap enam anggota OPM di lokasi.

Eskalasi penindakan yang dilakukan TNI dan Polri pun makin tinggi ketika salah seorang personel terbaik TNI, yakni Danramil 1703-04 Aradide Letda Inf. Oktovianus Sogalrey, gugur akibat dibunuh anggota OPM.

Bahkan, salah seorang anggota OPM sempat merekam aksi penganiayaan terhadap   Oktovianus, dan videonya pun sempat beredar di media sosial.

Diduga, kelompok OPM Panai menjadi dalang atas aksi brutal itu. Sejak saat itulah, pemburuan kelompok OPM kian gencar dilakukan oleh TNI dan Polri.

"Apa yang dilakukan OPM adalah pelanggaran HAM berat," tegas Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Nugraha Gumilar.

Pada saat sama, Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto pun melihat masalah tersebut sebagai hal yang serius.

Oleh karena itu, karenanya, ia memanggil Panglima TNI dan Kapolri untuk rapat tertutup di kantor Menko Polhukam guna membahas strategi penindakan OPM.

Peningkatan intensitas penanganan OPM sudah jadi hal yang harus dilakukan TNI dan Polri.

Peningkatan strategi hingga penguatan perlindungan masyarakat sipil di Papua pun harus menjadi salah satu yang diprioritaskan untuk dilakukan.

Namun, semua itu hanya akan jadi rencana yang susah tercapai jika koordinasi antara TNI dan Polri tidak diperkuat terlebih dahulu.

"Sinergi TNI-Polri sudah bersifat tuntutan wajib dilembagakan di Papua karena OPM menyatakan perang terbuka," kata analis intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro.

Penguatan koordinasi bisa dilakukan dengan memperkuat tupoksi setiap lembaga dalam mengatasi OPM.

Setiap lembaga harus memiliki tupoksi yang berkesinambungan sehingga penanganan dari hulu ke hilir bisa dilakukan dengan maksimal.

Pengelompokan tupoksi itu pun dicontohkan dengan memberikan tugas pengamanan masyarakat dan evakuasi oleh jajaran Polri,  sedangkan pengamanan teritorial hingga pemburuan OPM bisa dilakukan oleh jajaran TNI melalui pasukan darat.

Selain itu, pihak intelijen, sebagai salah satu motor penyalur informasi yang akurat, harus dimanfaatkan negara dengan baik. TNI dapat memanfaatkan data intelijen untuk mengatur strategi pengejaran hingga penyergapan OPM.

Namun, ada satu hal dasar yang harus dilakukan terlebih dahulu, yakni penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM) personel.

Bukan dari segi intelegensi saja, penguatan fisik juga harus dilakukan, mengingat medan yang akan mereka selami di Papua sangat ekstrem.

Dengan penguasaan medan dan taktik yang jitu, dia meyakini TNI mampu menuntaskan tugas di lapangan.


Dukungan politik 

Upaya penindakan secara fisik rupanya tidak cukup. Segala bentuk tindakan TNI dan Polri harus berdasarkan instruksi presiden selaku panglima tertinggi.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah keputusan politik yang kuat untuk dijadikan dasar bagi para penegak hukum dalam menumpas OPM.

"Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara, operasi militer selain perang (OMSP) TNI di Papua masih akan sama seperti sebelumnya," kata pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.

Pihak eksekutif dan legislatif harus sepakat akan satu hal yakni serius menumpas OPM.

Kesamaan pendapat antara Pemerintah dan legislatif ini nantinya dapat berbuah sebuah keputusan politik di DPR yang menjadi dasar untuk melakukan penindakan tegas.

Dengan landasan politik tersebut, TNI-Polri bisa leluasa melakukan tugas tanpa harus dibayang- bayangi dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Sinergi antara legislatif dan eksekutif inilah yang diharapkan Fahmi bisa tercipta untuk mendukung sang eksekutor di lapangan.

Dukungan politik itu pun tampaknya sudah terendus Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua MPR Bambang Soesatyo  mendukung penuh upaya TNI melalukan tindakan tegas terhadap OPM.

Keamanan dan keselamatan masyarakat Papua harus menjadi prioritas negara. Apa pun upaya kelompok yang mengancam kedaulatan NKRI dan keselamatan masyarakat, harus dilawan.

"Tindakan tegas pun perlu dilakukan aparat demi menunjukkan bahwa negara tidak akan kalah dengan kelompok separatis yang skalanya lebih kecil dari TNI dan Polri itu," kata Bambang.

Pernyataan Bambang itu menjadi lampu hijau bagi para politikus Senayan untuk mendukung tindakan konkret TNI Polri dalam menumpas OPM.


Kacamata HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun secara terang-terangan mengecam aksi kekerasan OPM yang menimpa perempuan dan anak-anak serta tewasnya Danramil Oktovianus Sogalrey.

Apa pun bentuk kekerasan terhadap aparat dan masyarakat sipil harus diusut tuntas dan transparan.

Komnas HAM pun mencatat beberapa kasus kekerasan yang telah terjadi di Papua sejak Maret hingga April selama 2024.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro merinci peristiwa kekerasan yang terjadi pada Maret 2024, di antaranya kontak tembak antara aparat gabungan TNI-Polri dengan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya (1/3); penembakan dua prajurit TNI yang diduga dilakukan oleh KSB di Kulirik, Puncak Jaya (17/3); Penembakan satu anggota Satgas Kostrad Yonif Raider 323/BP yang diduga dilakukan KSB di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak (22/3).

Selain itu, penembakan yang diduga dilakukan oleh KSB terhadap dua anggota Polri saat berjaga di helipad di Kabupaten Paniai pada 20 Maret lalu.

Adapun pada 5 April 2024 tercatat dua perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh sekelompok orang di Distrik Nabire, Kabupaten Nabire.

Walaupun beragam aksi brutal telah dilakukan OPM kepada aparat dan warga sipil, Komnas HAM tetap berharap Pemerintah mengedepankan pendekatan terukur untuk menangani OPM.

Pendekatan terukur ini yakni mengatasi penggunaan kekuatan kekerasan yang berlebihan oleh negara.

Karena, menurut Atnike, penggunaan kekerasan secara berlebihan juga rentan akan pelanggaran HAM. Hal tersebut justru akan melahirkan konflik baru yang penyelesaiannya pun akan makin lama.

Karena itu, Komnas HAM lebih memilih jalan lain untuk menuntaskan konflik OPM, yakni penyediaan infrastruktur yang merata oleh Pemerintah untuk masyarakat Papua.

Pemerintah harus menghadirkan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pengembangan perekonomian lokal.

Dengan upaya konkret tersebut, disparitas di bidang perekonomian, kesehatan, hingga  pendidikan antara masyarakat Papua dengan warga di wilayah lain bisa ditekan.


Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024