Jakarta (ANTARA News) - Ketua Tim Regulasi PT Perusahaan Gas Negara Antonius Aris Sujatmiko mengatakan banyaknya "trader" gas menghambat pengembangan infrastruktur gas yang menyebabkan krisis energi di Sumatera Utara dan potensi krisis di Jawa Tengah.

"Krisis energi ini diperparah dengan para kartel yang bekerja sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak nasional, mereka menjual alokasi gasnya dengan tidak transparan ke "broker" gas yang tidak memiliki fasilitas," katanya di Jakarta, Jumat.

Berbeda dengan KKKS asing yang menjual alokasi gasnya secara langsung ke distributor atau langsung ke pengguna gas, tanpa melalui broker atau calo.

"Dalam menerapkan biaya jalur pipa transmisi, PGN selalu mematuhi keputusan BPH Migas," kata dia.

Begitu juga terhadap harga jual gas ke pelanggan, sambung dia, PGN merupakan satu-satunya badan usaha yang melaporkan secara transparan komponen pembentuk harga jual gas.

"Sedangkan "trader" dan "broker" gas lain sampai saat ini tidak ada yang tahu berapa keuntungan dan biaya yang telah mereka tetapkan," katanya.

Dia menjelaskan untuk biaya jalur Pipa SSWJ I sepanjang 400 km

(dibangun tahun 2007) PGN sesuai keputusan BPH Migas, tarif biaya jalur nya adalah 1,55 dolar AS per MSCF. Sedangkan biaya jalur pipa SSWJ II sepanjang 600 km (dibangun tahun 2008) dikenakan tarif 1,47 dolar AS per MSCF.

Terhadap pipa Distribusi Jabar sepanjang 2.400 km (dibangun tahun 1984 -2009) biaya yang dilaporkan ke pemerintah adalah sebesar 2,2 dolar AS per MMBTU.

Sementara badan usaha lainnya yang memiliki pipa Cilamaya-Cilegon yang dibangun tahun 1974 dengan skema hulu, dengan panjang pipa hanya 360 km tarif nya mencapai 1,9 dolar AS per mmbtu.

"Dengan pipa yang lebih tua dan lebih pendek, tapi tarif-nya justru jauh lebih tinggi. Ini mirip penggelembungan nilai aset seperti halnya terjadi di bursa lelang barang antik."

Terkait dengan pelaksanaan "open access" pada pipa hilir gas, PGN telah melaksanakannya pada ruas Grissik-Batam-Singapura jauh sebelum Permen ESDM No 19/2009 dikeluarkan.

Namun kemudian disalahgunakan dengan munculnya broker yang mendapat alokasi gas dari JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang.

Saat itu JOB Pertamina Talisman Jambi Merang menjual gas kepada PT Pembangunan Kota Batam, yang lantas menjual lagi kepada PT Inti Daya Latu Prima (IDLP), dan kemudian menjual kepada konsumen PLN Batam. Karena IDLP menjual gas ke pelanggan eksisting, dalam hal ini PLN Batam dan tidak mengembangkan infrastruktur untuk menjangkau pasar baru.

Hal itu menyebabkan stagnansi infrastruktur dan terjadi kelebihan suplai gas. Akibatnya upaya konversi BBM ke gas di daerah baru seperti yang dicanangkan pemerintah menjadi terhambat.

Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur dan di Jawa Barat.

"Para calo gas yang menerima alokasi gas dari Pertagas Niaga berbondong-bondong memanfaatkan pipa "open access" yang dibangun oleh negara pada 1974."

Dia menambahkan para calo menjual gas kepada konsumen dengan untung yang tidak bisa dipantau oleh Pemerintah.

"Perpanjangan rantai bisnis gas ini selain menimbulkan stagnansi pengembangan infrastruktur gas, juga membuat ekonomi biaya tinggi. Jadi tidak ada sejarahnya "open access" akan menurunkan harga gas," papar Aris.

Harga gas di negara yang tidak menerapkan "open access" seperti Malaysia dan Thailand, justru lebih murah dibanding harga gas di Eropa, dan lebih murah dibanding di Indonesia yang telah menerapkan "open access" pada pipa transmisi.

Oleh karena itu, PGN sangat menyayangkan pendapat seorang ahli manajemen yang awam mengenai industri gas nasional namun ia berani berkomentar menggenai "open access".

Namun, bila pemerintah ingin menerapkan open access dan "unbundling", PGN meminta penerapannya diberlakukan secara adil.

Sebagai perusahaan gas yang memiliki infrastruktur, lanjut dia, bagaimana mungkin PGN dapat bersaing dengan calo gas, bila saat ini posisi PGN selalu menjadi rantai terujung dalam urutan rente bisnis gas.

Dengan pengalaman dan kemampuannya selama ini, PGN optimis mampu bersaing ketika pemerintah menerapkan "open access".

Aris memberikan contoh, Gaz de France tetap jaya sekalipun pipanya di-open access, bahkan menduduki ranking ke-33 pada Fortune 500. Demikian juga dengan perusahaan minyak Perancis, Total, yang menduduki urutan ke 11.

Permasalahannya, kata dia, bukan pada "open access" tapi penerapan skema bisnis gas tersebut diberlakukan secara adil.

(I025/N002)

Pewarta: Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013