Kendari (ANTARA) - Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan laut, masyarakat Bajau memiliki peran yang vital terhadap masa depan alam yang lestari. Tidak hanya menjadikan laut sebagai tepat hidup dan menggantungkan hidup, tepi laut adalah bagian dari diri mereka, sehingga timbul rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian laut itu.

Menurut Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK) Direktorat Direktorat Jenderal, Kemendikbudristek Irini Dewi Wanti saat ditemui di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Rabu mengatakan "Deklarasi Masyarakat Bajau dalam Perlindungan dan Pengelolaan Cagar Biosfer" itu merupakan salah satu bentuk perhelatan yang mengangkat harkat dan martabat suku itu di Wakatobi dan di daerah manapun.

Selama ini, sangat sering dijumpai berbagai riset dan kajian mwengenai Suku Bajau yang bagus dan beranekaragam, tetapi narasi-narasi tersebut tidak terimplementasi penerapannya pada masyarakat Bajau itu sendiri yang memiliki populasi sekitar 6 hingga 7 juta orang.

Sebagai contoh, ketika berkunjung ke perkampungan Bajau, kita melihat mereka sebagai masyarakat nelayan atau maritim luar biasa keunikannya, karena memang di sanalah kehidupan mereka yang sebenarnya, tetapi ketika berbicara tentang sumbangsih terhadap keterlibatan dalam pembangunan, terlihat kurang tereksplorasi.
 
Bupati Wakatobi Haliana dan istri. (Antara/Andry Denisah)

Karena itu dipandang perlu pelibatan Suku Bajau yang lebih baik lagi kedepannya agar budaya yang dimiliki oleh mereka bisa menjadi kekuatan baru, sekaligus nilai tambah bagi daerah tempat mereka bermukim, seperti di Wakatobi yang merupakan salah satu daerah cagar biosfer dalam menjaga aset tersebut, yang juga berdampak pada kepariwisataan.

Presiden Kerukunan Keluarga Bajau Indonesia Abdul Manan mengatakan bahwa deklarasi ini merupakan bentuk komitmen untuk mendukung dan ikut serta melestarikan sumber daya pesisir dan laut yang ada di Kabupaten Wakatobi sebagai salah satu cagar biosfer dunia.

Baginya komitmen tersebut dengan tetap berlandaskan praktik – praktik kearifan lokal masyarakat Bajau Wakatobi selama ini yang berjumlah kurang lebih sekitar 20.000 jiwa terbagi 2 lokasi inti yakni Bajau Mola di perairan Wangi – Wangi dan Bajau Sampela di perairan Kaledupa dalam hal pemanfaatan sumber daya laut sekaligus menjaga kelestarian alam Wakatobi.
Penampilan tari Duata. (Antara/Andry Denisah)

Dengan adanya deklarasi ini juga menjadi penegasan Suku Bajau akan mengambil peran utama dalam kolaborasi multipihak atau hexahelix dan masyarakat Bajau akan terus sadar untuk menempatkan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Wakatobi mengapresiasi inisiasi deklarasi oleh Kemdikbudristek yang mampu menggugah semangat kolaborasi antara masyarakat dan tokoh Bajau, semua pemangku kebijakan, serta seluruh masyarakat di kabupaten itu yang berjumlah 115.000 jiwa dan tersebar di empat pulau besar, yakni Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

Perimtah daerah berterima kasih pada komitmen bersama yang kemudian melahirkan rekomendasi untuk menjaga laut yang diharapkan menjadi komitmen bersama sejak hari deklarasi hingga seterusnya, guna memberikan manfaat yang lebih panjang ke generasi-generasi berikutnya.

Mayoritas masyarakat Wakatobi menggantungkan hidup dari laut, maka dari itu dengan menjaga laut, artinya masyarakat Bajau telah menyelamatkan warisan kekayaan alam yang akan bermanfaat bagi mereka kelak.


Parade 1.000 Perahu

Deklarasi untuk menjaga kelestarian lingkungan laut itu dimeriahkan dengan parade 1.000 perahu, sebagai acar pembuka. Pada parade itu, dilaksanakan tradisi Sangal, yakni tradisi memberi sedekah kepada laut dari Suku Bajau karena laut telah memberikan rezeki yang begitu melimpah, sehingga harus melepaskan sebagian hasil laut yang diperoleh kembali ke laut dengan cara melepaskannya dengan harapan bahwa akan diberikan balasan dengan hasil yang lebih melimpah lagi di kemudian hari.
 
Pertunjukan parade 1.000 perahu masyarakat Suku Bajau di Wakatobi. (Antara/Andry Denisah)

Dinas Pendidikan Kabupaten Wakatobi mengungkapkan bagi masyarakat Wakatobi disadari bahwa hidup di laut dan membuktikan bahwa kehidupan laut itu harus diarungi dengan fasilitas yang memang arahnya ke laut.

Parade 1.000 perahu ini adalah sebuah selebrasi sekaligus komitmen sebagai masyarakat Bajau bahwa laut adalah kehidupan mereka. Bagi masyarakar Bajau, laut dan mereka adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.

Bahkan, sebagian dari beberapa atraksi yang ditampilkan di atas perahu pada parade adalah sebuah bentuk nyata bahwa masyarakat Bajau adalah orang yang patut dipercaya mengelola laut karena laut adalah anugerah dan tempat untuk mereka hidup.

Atraksi itu merupakan gambaran kepada masyarakat Wakatobi secara keseluruhan maupun tamu yang hadir menyaksikan bahwa kegiatan serupa bukan sekadar simbolis atau seremonial belaka, melainkan bentuk kebersamaan seperti konsep Suku Bajau yang disepakati bahwa mereka adalah "Sama", yaitu suku Sama dan itu melekat di diri mereka. Walaupun tersebar di wilayah yang berbeda-beda, bila menyangkut Suku Bajau, mereka akan bersatu padu.

Beberapa tradisi yang ditampilkan masyarakat Bajau di atas perahu nelayan Wakatobi sebagai persembahan kepada semua masyarakat maupun tamu yang datang menyaksikan parade tersebut, ialah Tarian Duata, Tarian Pallibuang, Tarian Mbo Pumpiah, Musik Gambus Bajau, Pertunjukan Liligo, dan Iko Iko Sama, Pencak Silat. Tampilan gadis-gadis Bajau yang memakai bedak pupur sambil melaut, Pongko atau tampilan keluarga Bajau yang sedang mencari hasil laut dalam waktu beberapa hari, tampilan pendidikan anak Bajau dari Sikola Bajalan, serta Tampilan Gem bo Buayaang.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024