Washington (ANTARA) - Israel belum menunjukkan kepada pemerintahan Biden sebuah "rencana komprehensif" untuk melakukan invasi terhadap Rafah di mana sekitar 1,5 juta pengungsi Palestina mencari perlindungan, kata Gedung Putih, Jumat (3/5).

Gedung Putih menyampaikan hal tersebut ketika laporan meningkat bahwa Tel Aviv sedang bersiap untuk operasi militer besar-besaran di Israel, kota Gaza selatan.

Juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, mengatakan Washington sudah "menyatakan dengan jelas" kepada Israel mengenai kekhawatiran mereka terhadap "setiap operasi militer besar" di Rafah, khususnya kebutuhan untuk melindungi penduduk sipil di wilayah tersebut.

“Kami ingin memastikan bahwa nyawa mereka terlindungi,” katanya kepada wartawan di Gedung Putih.

"Kami percaya bahwa pemerintah Israel akan mempertimbangkan kekhawatiran kami," tambahnya.

Dia mengatakan bahwa AS belum melihat sebuah rencana yang komprehensif dan mereka ingin memastikan bahwa pembicaraan tersebut terus berlanjut karena penting untuk melindungi nyawa dari lebih satu juta warga Palestina yang tidak bersalah yang mencari perlindungan di Rafah.

Komentar tersebut muncul setelah situs berita Politico melaporkan bahwa Israel telah memberi pengarahan kepada pejabat AS dan kelompok bantuan mengenai rencana "untuk mulai mengeluarkan warga Gaza dari Rafah," dan secara paksa merelokasi mereka lagi ke kota tetangga al-Mawasi sebelum dimulainya invasi.

Al-Mawasi adalah kota kecil Gaza di pantai barat laut Rafah.

Tidak jelas bagaimana kawasan itu dapat menampung sekitar 1,7 juta warga Palestina di Rafah, sekitar 1,5 juta di antaranya merupakan pengungsi selama perang Israel di wilayah kantong yang terkepung tersebut.

IDF telah memberi tahu kelompok bantuan bahwa mereka akan memulai invasi "segera", dua sumber anonim yang mengetahui masalah tersebut mengatakan kepada Politico.

Surat kabar Wall Street Journal secara terpisah melaporkan bahwa Israel memberi waktu satu minggu kepada Hamas untuk menyetujui perjanjian gencatan senjata sementara yang akan membebaskan 33 sandera dan permusuhan dihentikan selama 40 hari.

Selama jangka waktu tersebut, negosiasi dapat dilanjutkan untuk pembebasan sandera lebih lanjut dan kemungkinan perpanjangan gencatan senjata.

Namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pekan ini bahwa pasukannya akan menyerang Rafah “dengan atau tanpa” perjanjian gencatan senjata.

Israel menggempur Jalur Gaza sebagai pembalasan atas serangan lintas batas yang dilakukan oleh Hamas, yang menewaskan sekitar 1.200 orang.

Sedikitnya 34.622 warga Palestina telah tewas di Gaza, yang sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, dan 77.867 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina.

Perang Israel di Gaza telah menyebabkan 85 persen penduduk wilayah itu mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut telah rusak atau hancur, menurut PBB.

Sementara itu, Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ)

Keputusan sementara ICJ pada Januari mengatakan “masuk akal” bahwa Israel melakukan genosida di Gaza, dan memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan tersebut serta mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.

Namun, peperangan terus berlanjut dan pengiriman bantuan masih belum cukup untuk mengatasi bencana kemanusiaan tersebut.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Puluhan legislator AS desak Biden halangi serangan Israel ke Rafah
Baca juga: Hamas hentikan negosiasi gencatan senjata jika Israel serang Rafah

Penerjemah: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024