KPK sekarang sudah menjadi `dewa hukum` baru. Namanya dewa ya putusannya harus diterima, tidak boleh dikritik, atas nama penghormatan terhadap proses hukum,"
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah muncul sebagai "dewa hukum" baru di Indonesia, sehingga menjadikan komisi tersebut kebal kritik.

"KPK sekarang sudah menjadi dewa hukum baru. Namanya dewa ya putusannya harus diterima, tidak boleh dikritik, atas nama penghormatan terhadap proses hukum," katanya di sela-sela Kongres Kebangsaan Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Selasa.

Pernyataan itu muncul saat diminta mengomentari vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq (LHI).

Mahfudz juga mengklaim dirinya menangkap ada berbagai reaksi dan tanggapan dari publik atas vonis tersebut, khususnya di jejaring media sosial, termasuk sikap membanding-bandingkan berat hukuman yang dijatuhkan untuk masing-masing kasus korupsi.

"Reaksi yang saya tangkap yaitu respon yang berkembang di sosmed dan celotehan masyarakat mereka mulai membanding-bandingkan vonis-vonis sebelumnya," ujar Mahfudz.

Hal tersebut, bagi Mahfudz merupakan salah satu indikasi adanya sikap masyarakat yang menganggap terdapat kejanggaln terhadap vonis itu.

"Yang jelas, begitu masyarakat sudah menilai ada kejanggalan, ini menjadi peringatan serius bagi KPK," ujarnya.

Ia menuturkan, di antara komentar yang disimaknya di media sosial adalah kebingungan terkait terdakwa lain yang kasus korupsinya terbukti dengan angka lebih besar, vonisnya justru ada yang hanya empat atau tujuh tahun.

"Sementara kasus LHI yg dakwaannya Rp1 miliar dan itu pun belum diterima, dan ada fakta persidangan Fathanah akan menyerahkannya kepada orang lain tetapi diabaikan itu malah vonisnya 16 tahun," ujarnya.

"Jadi, masyarakat sendiri membanding-bandingkan vonisnya ada perbedaan," kata Mahfudz menambahkan.

Reaksi dan tanggapan tersebut, kata Mahfudz, menjadi peringatan kepada KPK bahwa dalam pengambilan keputusan jangan sampai diwarnai dimensi dan nuansa lain.

"Termasuk nuansa politik dan sebagainya," ujarnya.
(G006/S024)

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013