Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, selain untuk memastikan keselamatan pasien, pihaknya melakukan skrining sebagai upaya untuk menyusun kebijakan membantu para residen yang depresi.  

Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, Azhar mengatakan bahwa dari seluruh komponen di RS, yaitu dokter, perawat, residen, dan lain-lain, residen atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) memiliki beban mental yang terberat.

"Anda bisa bayangin mereka pendidikan, melayani pasien, tidak bekerja pula, anak istrinya butuh uang, kadang-kadang mereka bukan lagi tinggal sama orang tua, sudah berkeluarga, dan sebagainya. Nah merekalah yang dalam tanda kutip, yang menanggung beban berat di rumah sakit, sehingga kami skrining dulu," katanya.

Hal tersebut dia ungkapkan sebagai respons pertanyaan media tentang pemantauan dan penanganan peserta PPDS yang mengalami gangguan mental. Azhar mengatakan, skrining tersebut dilanjutkan dengan diagnosis mendalam oleh psikiater.

Dia menilai, depresi bukanlah sebuah penyakit yang tak dapat disembuhkan. Apabila beban yang membuat depresi tersebut hilang, katanya, maka gangguan mental itu hilang.

Dia mencontohkan, sebelum masuk ke program pendidikan dokter spesialis, pihaknya bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek untuk Tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk mengetahui kesiapan kejiwaan peserta.

Atau, ujarnya, untuk masalah keluarga peserta, seperti perceraian, anak sakit, tidak didukung pasangan atau keluarga, maka pihaknya mencoba untuk mengumpulkan keluarganya untuk memberikan pemahaman agar dapat mengetahui dan siap menerima kehidupan peserta PPDS itu selama pendidikannya berlangsung.

"Terus kemudian kita bisa tahu juga, salah satunya, bahwa ini adalah masalah keuangan. Kita coba dengan (program pendidikan) hospital-based kita, tidak berbayar," katanya.

Adapun untuk masalah perundungan dari senior, kata Azhar, pihaknya mencoba mengatasi melalui berbagai peraturan dan sistem pencatatan.

"Kami tegas betul, residen senior yang membully daripada residen juniornya, nanti mereka akan mendapatkan catatan. Di dalam sistem logbook, jadi misalnya terlibat bullying dalam jangka waktu tertentu," katanya.

Dia menjelaskan, perilaku tersebut tercatat selama beberapa waktu tertentu, tergantung tingkat keparahan perundungan tersebut. Misalnya, kata dia, apabila ringan maka catatannya hanya sekitar lima bulan, namun apabila perundungannya berat, maka catatan tersebut bertahan hingga dua tahun.

Baca juga: Kemenkes upayakan perluasan PPDS berbasis RS penuhi kebutuhan nasional

Baca juga: Kemenkes: PPDS berbasis RS prioritaskan dokter di daerah DTPK

Baca juga: Kemenkes luncurkan PPDS berbasis RS genjot produksi dokter spesialis

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024