Jakarta (ANTARA News) - Penyelundupan pakaian jadi dari sekitar 10 negara Asia, seperti China, Singapura, Korsel, dan India, cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir karena lemahnya hukum di Indonesia.
"Trennya meningkat dalam tiga tahun terakhir. Jika tahun 2003 mencapai 29 persen dan pada 2004 hanya 22 persen, sedang di 2005 melonjak 59 persen," kata Sekretaris Eksektif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismy, di Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan perhitungan jumlah penyelundupan berasal dari selisih konsumsi garmen dengan jumlah produksi dan impor.
"Produksi dalam negeri dan impor garmen (yang tercatat) kita kurang, namun tingkat konsumsi masyarakat masih saja tinggi. Dari mana konsumen memperoleh produknya? Keganjilan ini menunjukkan masih adanya penyelundupan," ujar Ernovian.
Dia menyayangkan upaya pemerintah untuk menanggulangi penyelundupan berjalan setengah-setengah dan lambat walau sebenaranya solusinya sudah ada.
Ernovian mengatakan untuk mengatasi penyelundupan ada berbagai cara, misalnya dengan memasukkan produk garmen impor ke "jalur merah", penegasan aturan "port to port manifest" untuk mengatur masuknya garmen luar ke Indonesia dan memberatkan sanksi bagi penyelundup.
"Selama ini, sanksi yang ada hanya administrasi saja, tidak ada sanksi badan atau hukuman kurungan kepada penyelundup. Barang hasil selundupan akhirnya tetap dipasarkan," katanya.
Akibat penyelundupan yang makin tinggi, menurut dia, produk garmen dalam negeri skala kecil dan mikro makin terpuruk dan kalah bersaing dengan barang impor selundupan yang banyak beredar di pasar.
Menurut data terakhir API, indstri tekstil, garmen dan konveksi skala kecil dan mikro pada tahun 2004 berjumlah 5.569 perusahaan, mayoritas berlokasi di Bandung. Pada 2005, jumlah UKM di sektor itu tinggal 4.700 perusahaan dan tenaga kerja yang di PHK mencapai 30.000 jiwa dari sebelumnya sekitar 668 ribu tenaga kerja.
"Kerugian negara dan masyarakat sangat besar karena industri garmen menyerap tenaga kerja sangat besar," kata Ernovian.
Orientasi pasar industri kecil dan mikro tersebut adalah pasar domestik, sehingga dampaknya sangat signifikan. Ernovian meminta pemerintah menolong mereka melalui penegak hukum dan pembuat kebijakan yang jelas dan berkelanjutan.
"Saya meminta Dirjen Pajak memeriksa faktur pajak, pajak bea masuk, pajak Pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPH) di pedagang retail, agen hingga ke pabriknya," katanya.
Ernovian juga mensinyalir adanya modus baru untuk memasukkan barang impor melalui sistem impor borongan yang sejak tahun 2003 mulai marak di berbagai pelabuhan peti kemas.
"Impor borongan tersebut dilakukan secara legal tapi ilegal karena suratnya lengkap, namun dalam satu peti kemas terdapat macam-macam barang yang dimasukkan dalam garmen seperti elektronik. Itu harus diperiksa. Harga jual barang dalam peti kemas itu juga relatif murah," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006