Jakarta (ANTARA) - Dari Harvard sampai UCLA, dari Oxford sampai Cambridge, dari Sorbonne sampai University of Amsterdam, dari Helsinki University sampai University of Bologna, mahasiswa berbagai kampus di negara-negara Barat kian luas menunjukkan simpati kepada pendirian rakyat Palestina.

Mahasiswa-mahasiswa ini mendesak kampus-kampus mereka melepaskan tautan dan kemitraan dengan Israel, dengan cara menjual saham dan asetnya (divestasi) di perusahaan-perusahaan yang memiliki kaitan dengan Israel.

Untuk itu, aksi mereka dinamai dengan "gerakan divestasi."

Di antara spanduk yang dibentangkan oleh mahasiswa-mahasiswa Barat itu berbunyi "Kalian mendanai genosida" dan "Kami tak akan berhenti sampai kalian divestasi."

Mahasiswa-mahasiswa ini menilai semua perguruan tinggi yang berinvestasi dalam perusahaan-perusahaan Israel atau organisasi-organisasi terkait Israel, terlibat dalam perang Gaza.

Perang Gaza sendiri telah merenggut 34.700 nyawa warga Palestina, yang kebanyakan anak-anak dan wanita, selain mengusir lebih dari 1,5 juta warga Palestina untuk berdesak-desakan di Rafah, dan meratakan 70 persen bangunan di Gaza, termasuk kampus-kampus Palestina.

Mahasiswa di negara-negara Barat juga menyerukan gencatan senjata di Gaza. Mereka mendesak kampusnya menyatakan blokade Gaza oleh Israel sebagai genosida. Mereka menuntut kampus mereka mengutuk aksi Israel meratakan universitas-universitas Gaza.

Unjuk rasa itu berawal di Columbia University di New York.
 
Sejumlah siswa Palestina berada di ruang kelas sekolah tenda di Kota Rafah, Jalur Gaza Selatan, Selasa (30/4/2024). Nihad Badreia seorang guru Palestina yang mengungsi ke Rafah, mendirikan "sekolah tenda" bagi sekitar 600 anak usia sekolah yang tinggal di kamp pengungsi, karena konflik Palestina-Israel yang terjadi saat ini telah membuat para siswa kehilangan kesempatan belajar selama hampir tujuh bulan. ANTARA FOTO/Xinhua/Rizek Abdeljawad/Spt.

Baca juga: Imbas demo pro Palestina, Universitas Columbia batalkan upacara wisuda

Kemudian, unjuk rasa dengan membuat perkemahan di dalam kompleks kampus itu menyebar ke 140-an perguruan tinggi di hampir semua negara bagian di AS, termasuk daerah khusus ibu kota Washington DC yang menjadi rumah untuk kampus-kampus elite semacam George Washington University dan Georgetown University.

Hampir semua kampus terkemuka di AS menggelar aksi ini, termasuk kampus-kampus yang akrab di telinga sebagian warga Indonesia, di antaranya MIT, Johns Hopkins University, dan delapan kampus Ivy League (Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth College, Harvard University, University of Pennsylvania, Princeton University, dan Yale University).

Mengutip laporan BBC, perkembangan dramatis terjadi pekan lalu di Universitas Columbia ketika sekitar 100 mahasiswa ditangkap setelah polisi menyerbu masuk kampus.

Manajemen kampus, yang tak kuasa menghadapi tekanan lobi pro-Israel, para politisi, kepala daerah, dan organisasi-organisasi pro-Israel, terpaksa memanggil polisi untuk membersihkan kampus dari protes pro-Palestina.

Universitas Columbia meminta polisi membubarkan demonstran karena telah menduduki Aula Hamilton yang namanya diubah oleh mahasiswa dengan Aula Hind, dari nama bocah perempuan Palestina berusia enam tahun yang tewas di Gaza, Hind Rajab.

Peristiwa itu memaksa Presiden Amerika Serikat Joe Biden angkat bicara. Biden menyatakan polisi masuk kampus karena unjuk rasa sudah anarkis.

"Menghancurkan properti kampus bukan unjuk rasa damai, itu sudah melawan hukum," kata Biden, sambil menegaskan bahwa AS tak akan menoleransi ujaran kebencian atau kekerasan, entah itu anti-Yahudi, Islamofobia atau diskriminasi terhadap warga Amerika Arab.

Baca juga: Mahasiswa AS pro Palestina masuki gedung kampus meski hadapi skorsing

Selanjutnya: Berlumur darah

Copyright © ANTARA 2024