Jakarta (ANTARA) - Tidak ada yang menduga hujan pada malam itu berujung banjir, yang dengan seketika memorakporandakan puluhan desa di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, tepat pukul 01.17 WITA.

Banjir setinggi 3 meter merendam 3.268 rumah, menghanyutkan 211 rumah, dan empat  jembatan, merusak empat ruas jalan penghubung, merobohkan talut sungai sepanjang 50 meter dengan kondisi rusak berat.

Dampak kerusakan ribuan unit rumah dan fasilitas publik dengan klasifikasi ringan hingga berat itu melanda 56 desa di 12 kecamatan yakni, Latimojong, Suli, Suli Barat, Ponrang Selatan, Ponrang, Bupon, Larompong, Larompong Selatan, Bajo, Bajo Barat, Kamanre, Belopa, dan Kecamatan Belopa Utara.

Tercatat 13 orang meninggal dunia yang mayoritas lansia dan balita warga dari Kecamatan Latimojong dan Suli Barat. Mereka adalah Rumpak (97), Jatima (55), Rima (84), Muh Misdar (29), Mawi (57), Sukma (9), Kapila (84), Ambo Accung, Nadira (40), Sunarti (40), Ulfiana (8), Mutmita (5), dan Suardi (70).

Sebanyak 3.479 keluarga yang terdampak, 155 jiwa di antaranya terpaksa mengungsi memanfaatkan bangunan masjid dan gedung sekolah terdekat. Padamnya jaringan listrik dan telekomunikasi makin menambah penderitaan bagi warga yang masih terisolasi akibat bencana sejak 3 Mei 2024.

Menghadapi bencana tersebut, tim gabungan terdiri atas unsur TNI, Polri, Basarnas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) langsung mengambil alih upaya penanggulangan dalam waktu 1 x 24 jam setelah kejadian.

Upaya ini patut diapresiasi karena berkat kesigapan tim gabungan yang dikomandoi Kepala BNPB dan Gubernur Sulawesi Selatan, semua kebutuhan masyarakat satu-persatu mulai teratasi.

Seribu lebih personel gabungan dan total lima helikopter dari TNI Angkatan Udara, Polri, BNPB, dan unsur pemerintah daerah, beserta sukarelawan dari kelompok pencinta alam pun dikerahkan untuk memberikan pertolongan bagi ribuan korban yang terisolasi di kawasan perbukitan itu.
 

Foto Udara kondisi Desa Kaili pascabanjir bandang di Kecamatan Suli Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Minggu (5/5/2024). Banjir bandang akibat luapan Sungai Suli yang terjadi pada Jumat (3/5) menyebabkan 42 unit rumah hanyut dan 50 unit rumah rusak berat di tiga desa di Kecamatan Suli Barat. ANTARA FOTO/Hasrul Said/tom

Rusaknya hutan dan DAS

Sulawesi Selatan menjadi provinsi keempat setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang menempati posisi teratas dampak bencana alam hidrometeorologi basah banjir, tanah longsor, dan lainnya.

BNPB mencatat 451 kali cuaca ekstrem melanda Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Terakhir, 3 bulan lalu tanah longsor melanda di Jalan Poros Desa Bonglo-Palopo, Kabupaten Luwu. Dalam peristiwa itu 24 orang terdampak, 19 orang luka-luka, dan lima orang meninggal dunia.

Empat dari lima orang tersebut masih tertimbun di bawah material tanah sedalam 100 meter. Jasad mereka tak bisa ditemukan meski dua unit tim dari SAR Makassar dan Palopo  dikerahkan melangsungkan operasi pencarian lebih dari 2 pekan.

Dari rentetan kejadian bencana di Sulawesi Selatan, total sudah lebih dari 4.000 rumah yang rusak, belasan ribu masyarakat terdampak, dan lebih dari 30 orang meninggal dunia.

Fakta tersebut diungkapkan Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari.

Selain anomali cuaca dan iklim, rusaknya kawasan hutan dan aliran sungai akibat alih fungsi lahan jadi salah satu pemicu ribuan warga harus menghadapi bencana itu.

Oleh karena itu, BNPB menegaskan upaya penanggulangan dampak bencana harus berkelanjutan; mulai dari penanganan darurat, rehabilitasi dampak kerusakan, hingga mitigasi, dan pemulihan lingkungan dengan melibatkan semua pihak.

BNPB telah membuktikan komitmen  mendukung upaya percepatan penanganan dampak bencana tersebut melalui penggelontoran dana Rp2,5 miliar yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu, dan tujuh kabupaten lainnya pada periode Januari -- Mei 2024.

​​​​Rusaknya kawasan hutan dan daerah aliran sungai itu kian memicu besarnya dampak bencana melalui hasil kajian dari Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan.

Dalam kajian itu disebutkan Kabupaten Luwu  dan empat kabupaten lain seperti Enrekang, Sidrap, Wajo, dan Soppeng ternyata memiliki wilayah tutupan hutan di bawah 30 persen. Selebihnya sudah beralih fungsi untuk aktivitas ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, dan permukiman.

Di Luwu, misalnya, dari total luas hutan mencapai sekitar 430.886,30 hektare, dalam rentang waktu 2016-2020, perubahan tutupan hutan primer telah berkurang 782,30 hektare di wilayah konsesi pertambangan. LSM itu melaporkan deforestasi terbesar di daerah ini terjadi pada tahun 2015 -- 2016 mencapai 30.144,2 hektare.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin mendapati sekitar kawasan penyangga Pegunungan Latimojong terdapat wilayah pertambangan emas dan pertambangan galian C atau penggalian pasir sungai.

Galian C ini masing-masing menyasar di wilayah DAS Suso, Suli, Mati, Ponrang, Tamboe, Paremang, Lamunre (Latimojong) hingga DAS Saddang (Kabupaten Enrekang), DAS Bila Walanae (Kabupaten Sidrap dan Soppeng), DAS Awoz, dan DAS Siwa (Kabupaten Wajo).

Fakta lainnya disebutkan bahwa jenis tanah di sekitar wilayah itu masuk dalam kategori tanah andosol dan latosol yang rentan erosi ketika musim hujan tiba, namun justru dengan mudah beralih fungsi untuk aktivitas ekstraktif sehingga mendorong terjadi banjir dan longsor.

Keberadaan galian C ini sudah sangat nyata sebagaimana diungkapkan Kepala Kantor SAR Makassar Mexianus Bekabel. Dari 13 korban banjir dan longsor pada 3 Mei lalu, Suardi menjadi korban terakhir yang jasadnya ditemukan terseret sejauh 200 meter di bawah rakit mesin pengisap pasir di Sungai Cimpu, Latimojong, Luwu, pada Selasa (7/5) siang.

Secara umum kajian itu menunjukkan bahwa daya dukung dan daya tampung air Gunung Latimojong telah menurun beberapa tahun terakhir ini seiring dengan kegiatan perusahaan itu maupun tambang ilegal.
 

Berantas perusak lingkungan

LSM tersebut membuat beberapa rekomendasi yang mendesak untuk direalisasikan sebagai upaya memberantas aktivitas perusak lingkungan yang memicu bencana banjir dan tanah longsor hingga menewaskan setidaknya 13 orang warga di Kabupaten Luwu.

Rekomendasi ditujukan untuk direalisasikan segera oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pertama merevisi peraturan terkait pemanfaatan ruang (rencana tata ruang tata wilayah/RTRW, rencana detail tata ruang/RDTL, rencana tata bangunan dan lingkungan/RTBL).

Banyak kawasan yang rentan terhadap bencana banjir dan tanah longsor justru diberikan izin pertambangan; salah satunya yang terbaru berlokasi di Desa Rante Bella, Latimojong, Luwu, Sulawesi Selatan, yang menjadi pertambangan emas.

Oleh karena itu, Gubernur Sulawesi Selatan diminta menindak tegas pelaku pertambangan yang berada di kawasan inti dan penyangga Pegunungan Latimojong.

Jajaran eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat harus mengakui bahwa rentetan bencana ini menjadi alarm bahwa sampai kapan pun pembangunan daerah jangan pernah mengesampingkan dampak ekologi.

Bila aktivitas pertambangan melanggar aturan demi mengeruk kekayaan dengan cara merusak lingkungan, sudah seharusnya dijerat dengan pasal pidana dan denda.

Tidak ada kata terlambat karena--demi keselamatan bersama--semua bisa dilakukan bila saling terbuka, mau mendengarkan, dan tidak mementingkan ego sektoral maupun pribadi.

Sudah saatnya semua elemen bangkit dengan menghentikan kerusakan di bumi Celebes sebagai tanah nan kaya karunia Tuhan, agar alam tetap lestari dan menjaga semua yang hidup di dalamnya.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024