Oleh Achmad Zaenal M Semarang (ANTARA News) - Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah dr Hartono, SpOG, menduga bahwa kasus aborsi yang dilakukan tidak sesuai dengan standar keamanan ibu jumlahnya mencapai 2 juta per tahun. Bila dugaan dokter spesialis kandungan tersebut benar, sungguh angka dua juta kasus aborsi tersebut sangat besar. Angka aborsi sebanyak itu hampir mendekati jumlah pertumbuhan penduduk nasional yang mencapai 1,3 persen atau sekitar 2,9 juta jiwa per tahun. "Kasus aborsi memang merupakan fenomena gunung es, yang terlihat di permukaan hanya sedikit, namun jumlah kasus yang sebenarnya sangat banyak. Angka yang terekam sekitar dua juta kasus aborsi setiap tahun," katanya pada rapat kerja dengan Komisi E DPRD Jateng, di Semarang, Rabu (23/8). Tidak salah bila aborsi memang sebuah fenomena gunung es. Sepanjang tahun 2006, menurut Direktur Reserse Polda Jateng Kombes Pol Zulkarnaen, hanya ada dua kasus aborsi yang disidik polisi, masing-masing dilakukan dokter gadungan Hanung Prabowo, dan dokter Kokok Hadianto, yang bukan spesialis kadungan. Tidak mudah untuk memetakan dari dua juta kasus aborsi yang disodorkan dr Hartono itu, apakah sebagian besar melibatkan remaja putri atau wanita yang sudah kawin tapi tidak ingin punya anak sehingga harus menggugurkan kandungannya. Dari temuan Polda Jateng tersebut menunjukkan, dua dari puluhan kasus aborsi yang dilakukan oleh dokter Kokok itu dilakukan oleh ibu yang sudah kawin, bahkan aborsinya dilakukan atas persetujuan suami. Aborsi memang bukan masalah sederhana bagi pelakunya, namun biasanya dilatarbelakangi persoalan yang lebih kompleks, mulai dari alasan kehamilan yang tidak diinginkan, alasan ekonomi, perkosaan, alasan si ibu mengidap penyakit jantung, traumatik, hingga alasan sosial. Menyimak beragam alasan yang dikemukakan oleh pelaku aborsi, menurut Hartono, tidaklah mengherankan bila peminat aborsi dari waktu ke waktu semakin banyak dan metode yang digunakan juga makin beragam meskipun tidak selamanya aman dari sisi kesehatan. Hartono mencontohkan makin meluasnya penggunaan obat dengan merek dagang Cytotec produksi Searle Pfizer yang indikasinya untuk obat mag dan usus lambung, justru sengaja disalahgunakan untuk menggugurkan kandungan. Cytotec yang memiliki nama generik misosprostol ini bisa diperoleh dengan mudah di apotek, meskipun seharusnya ditebus dengan resep dokter. Obat ini memiliki kontraindikasi (larangan) dikonsumsi wanita hamil dan menyusui, namun justru efek samping inilah yang digunakan untuk aborsi. Hartono menambahkan, banyak iklan di surat kabar menawarkan beragam ramuan yang bisa melancarkan kembali menstruasi, yang tujuan akhirnya untuk menggugurkan kandungan. "Kalau kandungannnya gugur, berarti wanita itu bisa menstruasi lagi," katanya. Dilematis Menurut dia, pengguguran kandungan memang persoalan dilematis, karena secara hukum memang dilarang, seperti diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32/1992 tentang Kesehatan, Pasal 76 UU No.29/1974 tentang Praktik Kedokteran dan Pasal 348 KUHP. Tetapi di luar aspek yuridis tersebut, menurut dia, ada sejumlah faktor yang mendorong ibu hamil menggugurkan kandungan, seperti alasan kesehatan ibu, perkosaan, atau kelahiran tidak diinginkan dengan alasan sosial ekonomi. Hartono mengisahkan, dirinya pernah dimintai tolong seorang tokoh terkemuka yang minta cucunya yang masih duduk di bangku SMA untuk digugurkan kandungannya dengan alasan malu kepada orangtua anak itu yang menitipkan anak gadisnya kepada dirinya. "Ini memang ilegal atau melanggar hukum, namun di dalamnya ada dilema dalam diri kita sendiri ketika kita menghadapi persoalan seperti itu," katanya. Prof dr Untung Praptohardjo, SpOGK menyatakan kegusarannya ketika semakin banyak penyalahgunaan obat misoprostol untuk aborsi bersamaan dengan meningkatnya kehamilan yang tidak dikehendaki. Menurut guru besar Fakultas Kedokteran Undip Semarang itu, penyalahgunaan misoprostol itu menunjukkan bangsa ini tidak mau menyadari adanya larangan keras misoprostol digunakan bagi wanita hamil dan menyusui. "Dalam etiket obat ini secara jelas sudah disebutkan kontraindikasi untuk dikonsumsi wanita hamil atau menyusui, namun larangan inilah malah yang dimanfaatkan untuk keperluan aborsi," kata Untung. Direktur Pelaksana Harian PKBI Jateng Farid Husni mengemukakan, faktor ekonomi karena merasa anaknya sudah terlalu banyak, misalnya, memberi andil dalam pengambilan keputusan seseorang melakukan aborsi. Faktor lain, belakangan ini juga tidak mudah dan tidak murah pula untuk memperoleh alat kontrasepsi, karena itu ada kecenderungan angka kehamilan tidak dikehendaki juga bertambah, sebagaimana dua kasus aborsi yang dilakukan oleh dr Kokok terhadap dua ibu hamil yang mendapat persetujuan dari suaminya. Gaya hidup yang semakin permisif, ikut memicu bertambahnya kasus aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan. "Kekhawatiran orangtua zaman sekarang, bila punya anak perempuan takut hamil sebelum nikah, dan bila punya anak lelaki sudah remaja, orangtua takut anaknya ikut terjerat narkoba," kata Farid. Banyaknya kasus aborsi itu menunjukkan rendahnya penghargaan terhadap nilai kemanusiaan. Bukankah setiap benih memiliki hak sama untuk hidup dan tumbuh di dunia? (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006