Jakarta (ANTARA) - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (RUU Keimigrasian) untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR

“Setelah mendengarkan pendapat atau pandangan fraksi-fraksi, selanjutnya kami minta persetujuan rapat, apakah penyusunan kedua RUU dapat kita setujui?” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi (Awiek) dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.

Pertanyaan tersebut lekas dijawab setuju oleh jajaran anggota Baleg DPR RI dan disambut ketukan palu yang meresmikan putusan Rapat Pleno. Di mana, rapat pleno pengambilan persetujuan atas revisi UU Keimigrasian dilakukan berbarengan dengan pengambilan persetujuan atas revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara).

Dalam kesempatan tersebut, Awiek mengatakan bahwa revisi UU Keimigrasian dilakukan sebagai dampak atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 64/PUU-IX/2011 dan Putusan MK Nomor 40/PUU-IX/2011.

“Selain itu, perubahan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan nyata dan mendesak dalam implementasi fungsi dan pelaksanaan keimigrasian, utamanya untuk segera melakukan perbaikan sumber daya, sistem teknologi, dan peningkatan sistem pengawasan dan deteksi lalu lintas orang,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa materi muatan revisi UU Keimigrasian yang telah diputuskan secara musyawarah mufakat terdiri atas enam perubahan, yakni:
1. Perubahan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b;
2. Perubahan ketentuan Pasal 64 ayat (3);
3. Perubahan ketentuan Pasal 97 ayat (1);
4. Perubahan ketentuan Pasal 102 ayat (1);
5. Perubahan ketentuan Pasal 103;
6. Perubahan ketentuan Pasal 137.

Kemudian, terdapat penambahan satu angka pada Pasal 11 RUU Keimigrasian terkait tugas pemantauan dan peninjauan atas UU Keimigrasian.

Salah satu poin perubahan yang disoroti adalah perubahan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian, yang menyebutkan bahwa pejabat imigrasi berwenang menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang.

Namun mengikuti putusan MK maka frasa “penyelidikan dan” dihapus, sehingga menjadi pejabat imigrasi hanya menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyidikan saja. Adapun, orang yang berada dalam tahap penyelidikan tak dapat dicegah untuk berpergian ke luar negeri oleh pejabat imigrasi.

“Karena dalam keterangan pertimbangan MK menyatakan bahwa orang yang dalam proses penyelidikan belum tentu dilakukan penyidikan. Jadi penyelidikan dalam rangka mencari bukti-bukti karena itu belum ditemukan adanya bukti-bukti, dan Mahkamah berpendapat frasa itu bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Tim Ahli Baleg DPR RI Widodo pada Rapat Baleg DPR RI yang digelar di Kompleks Parlemen, Rabu (15/5).

Diketahui, Rapat Baleg DPR RI terkait pembahasan revisi UU Keimigrasian yang masuk kategori RUU kumulatif terbuka itu dimulai sejak Selasa (14/5).

Baca juga: Mengupayakan RUU Keimigrasian menjadi UU yang paripurna

Baca juga: Imigrasi: KUHP baru tidak pengaruhi kunjungan wisatawan dan investasi

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024