"Jadi, kerugian itu bukan hanya persoalan pajak saja, administratif saja, tetapi dari persoalan ini (kasus pengeboran air tanah tanpa izin), harus juga dilihat dari dampak lingkungan yang semestinya menjadi sebuah kerugian negara,"
Mataram (ANTARA) - Pegiat sosial antikorupsi dari Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi) Nusa Tenggara Barat menilai bahwa dampak lingkungan yang muncul dari kasus pengeboran air tanah tanpa izin di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, adalah bentuk nyata kerugian negara.

"Jadi, kerugian itu bukan hanya persoalan pajak saja, administratif saja, tetapi dari persoalan ini (kasus pengeboran air tanah tanpa izin), harus juga dilihat dari dampak lingkungan yang semestinya menjadi sebuah kerugian negara," kata Direktur Somasi NTB Dwi Arie Santo di Mataram, Kamis.

Seperti kasus tambang timah yang kini berada di bawah penanganan Kejaksaan Agung. Dalam kasus itu muncul angka kerugian negara senilai Rp271 triliun. Jaksa menyampaikan angka kerugian muncul dari dampak lingkungan.

"Ini sama saja seperti yang ditangani Polda NTB. Penyidik bisa menghitung kerugian negara dari dampak lingkungannya," ucap dia.

Untuk mendapatkan angka kerugian, Somasi NTB mendukung Polda NTB meminta pendapat ahli di bidang lingkungan maupun pidana.

Namun, mengingat berkas dari kasus tersebut telah dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti dan tinggal menunggu pelimpahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum, Dwi berharap hakim pada proses persidangan bisa mengungkap kerugian negara dengan melihat sisi dampak lingkungan dari adanya aktivitas pengeboran air tanah tanpa izin.

Kepala Subdirektorat IV Bidang Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Reskrimsus Polda NTB AKBP I Gede Harimbawa sebelumnya mengatakan bahwa penyidik tidak membahas kerugian negara dalam penanganan kasus pengeboran air tanah tanpa izin di kawasan wisata Gili Trawangan.

"Jadi, kalau kerugian negara itu yang nangani Subdit Tipikor, kalau di kami tidak ada, yang ada tentang pemanfaatan sumber daya air, tentang dampak lingkungan terhadap adanya aktivitas pengeboran air tanah, itu saja," kata Harimbawa di Mataram, Kamis.

Dia menjelaskan bahwa penanganan kasus pengeboran air tanah tanpa izin ini mengarah pada dugaan pelanggaran pidana sesuai aturan Undang-Undang RI Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Aktivitas pengeboran air tanah tersebut dilakukan oleh PT Berkat Air Laut (BAL) yang bekerja sama dengan PT Gerbang NTB Emas (GNE), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemprov NTB.

Kedua perusahaan tercatat melakukan kerja sama pada tahun 2022 dalam kesepakatan penyediaan air bersih di kawasan wisata Gili Trawangan.

Namun, dari hasil penyelidikan Polda NTB yang dimulai pada tahun 2023, ditemukan perbuatan melawan hukum bahwa aktivitas penyediaan air bersih melalui pengeboran air tanah tersebut tidak mengantongi izin dari pemerintah daerah.

Hal tersebut dilihat dari keputusan pemerintah daerah pada medio Desember 2022 yang secara resmi menghentikan aktivitas PT BAL dengan PT GNE dalam penyediaan air bersih di Gili Trawangan.

Harimbawa menegaskan bahwa adanya perbuatan melawan hukum dalam aktivitas tersebut juga telah dikuatkan dari keterangan ahli pidana dan geologi.

"Jadi, aktivitas pengeboran air tanah tanpa izin ini sudah dilakukan PT BAL berbulan-bulan, itu yang menimbulkan adanya dampak lingkungan," ujarnya.

Dengan menyampaikan hal tersebut, penyidik dalam kasus ini menetapkan dua tersangka yakni Direktur PT Berkat Air Laut (BAL), inisial WJM asal Swiss dan Direktur PT Gerbang NTB Emas (GNE), berinisial SH.

Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dengan merujuk pada pelanggaran pidana Pasal 70 huruf D juncto Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan/atau Pasal 68 huruf A dan B serta Pasal 69 huruf A dan B UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024