Saya percaya musik itu napas hidup. Harpa panggilan saya, bukan hobi lagi"
Jakarta (ANTARA News) - Jalan hidup Rama Widi bersinggungan dengan harpa dan ia pun bertekad terus mengenalkan harpa terutama di Tanah Air.

"Menyebarkan virus musik klasik? Iya sih tapi aku enggak bilang klasik karena lingkupnya besar. Lebih spesifik ke harpa," kata Rama pada jumpa pers "New Year's Concert 2014 with Symphonia Vienna Orchestra" di Senayan, Jakarta, siang tadi.

Harpa bukan pilihan pertama Rama. Lulus sekolah menengah atas, sekitar tahun 2004 Rama berangkat ke Austria untuk meneruskan pendidikan musik. Meyakinkan orang tuanya agar ia diizinkan mengambil pendidikan musik pun cukup sulit.

"Mau makan apa dari musik?" adalah pertanyaan yang didapatnya. Rama tidak patah semangat. Ia memang sangat menggemari musik dibanding bidang lain. 

Ia termotivasi Twilite Orchestra yang dipimpin Addie MS untuk mengambil pendidikan di bidang musik klasik, meski itu bukan musik yang umum didengar orang Indonesia.

Sejak kecil, ibunya kerap mengajaknya menikmati pertunjukan Twilite Orchestra dan ia pun bermimpi suatu saat ingin menjadi seperti konduktor Addie MS.

Rama pun berangkat ke Austria dan mendaftar ke salah satu universitas di sana. Gagal masuk jurusan conducting yang diinginkannya, penggemar Addie MS ini tidak mau membuang waktu untuk ikut tes pada tahun berikutnya.

"Akhirnya saya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru yang develop-nya bisa cepat. Dan saya pun akhirnya memilih antara harpa dan oboe. Saya suka dua instrumen ini dan masih jarang tersentuh di Indonesia," tuturnya.

Saat usia sekolah, Rama juga sering menonton pemain harpa Maya Hasan.

Bisa dibilang, setiap Maya tampil, Rama ada di pertunjukan itu. Saat di Winna, ia menilai pemain harpa di Indonesia sangat sedikit. Saat itu baru ada tiga orang pemain harpa profesional, termasuk Maya Hasan.

"Akhirnya saya milih harpa karena pemain harpa di Indonesia masih tiga orang. Bolehlah jadi orang keempat."

Atas rekomendasi berbagai pihak, ia pun memutuskan mendaftar ke Vienna Conservatory Austria. Ujian masuk pun tiba, ia harus tampil membawakan sejumlah lagu di depan pengujinya.

"Saya belum pernah main harpa," katanya, mengenang saat itu.

Ia pun mengakui hal tersebut kepada dosen pengujinya. Beruntung, dia pernah menonton salah satu acara televisi tentang harpa. Pada acara itu, Maya Hasan menjelaskan bagian-bagian harpa, termasuk jumlah pedal.

Untuk pertama kali pula saat tes di Vienna Conservatory, Rama melihat harpa dari dekat.  Ia pun memainkan harpa setinggi 1,85 meter itu dan akhirnya diterima di jurusan performing art.

Harpa baginya termasuk alat musik yang rumit bila dibandingkan dengan piano dan biola.

"Harpa ada tujuh pedal dan itu tiga tingkat. Kalau di harpa, apa yang kita injak harus kita kembalikan ke posisi semula. Enggak bisa otomatis," jelasnya.

"Salutnya sama pemain harpa, mereka bisa kelihatan anggun padahal di belakangnya ganti-ganti (pedal) melulu dia. Tapi senyum terus kan, ha ha ha."

Saat di Vienna pun Rama mengambil gelar ganda jurusan pendidikan dengan kuliah minor conducting.
Sepulangnya dari Austria pada 2012, dia sempat mengajar sebentar pada Institut Kesenian Jakarta.

Kini, mulai Mei 2012, pria kelahiran tahun 1985 ini terdaftar sebagai dosen harpa dan chamber music pada Universitas Mahidol, Thailand.

Sampai kapan mau main harpa?

Hening, lalu dia menjawab, "Sampai selesai bernapas. Saya percaya musik itu napas hidup. Harpa panggilan saya, bukan hobi lagi. Itu udah jadi misi saya, membagi talenta ke orang lain."

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013