Jakarta (ANTARA) - Pemimpin Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan ada sejumlah langkah antisipatif yang perlu diperhatikan pemerintah, memasuki fase transisi penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan menuju penerapan penuh pada Juli 2025.

Robert menyebut bahwa disparitas layanan rumah sakit selama ini menjadi penyebab utama maladministrasi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah memastikan terpenuhinya kebutuhan dan mutu fasilitas dasar dan SDMK RS, skema kebijakan pembayaran iuran yang berkeadilan, serta standar ruang perawatan dan standar layanan pada kelas yang paling optimal.

"KRIS diharapkan membawa semangat baru terurainya disparitas layanan kesehatan di rumah sakit, mentransformasikan pelayanan kesehatan menuju pelayanan kesehatan yang adil dan setara, sesuai dengan amanat konstitusi," ujarnya dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Selasa,

Pertama, katanya, pemerintah wajib memastikan fasilitas dasar rumah sakit sudah terpenuhi sebagai prasyarat pemberlakuan KRIS.

Baca juga: BPJS Kesehatan: Perpres 59/2024 jadi landasan evaluasi tarif dan iuran

Baca juga: Komisi IX DPR tegaskan sistem KRIS penuhi standar layanan rumah sakit


"Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, maupun pemda wajib mengaudit secara menyeluruh pemenuhan fasilitas rumah sakit KRIS hanya dapat terselenggara dengan baik jika fasilitas primer dari rumah sakit sudah tersedia," dia menerangkan.

Kedua, ujarnya, Ombudsman meminta pemerintah memastikan kuantitas maupun kualitas Sumber Daya Kesehatan (SDMK) di rumah sakit. Menurut Robert, pemerintah saat ini terkesan hanya berfokus kepada peningkatan kualitas infrastruktur kesehatan, namun mengesampingkan upaya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.

"Kami melihat hilirisasi SDMK menjadi kunci bagi upaya optimalisasi kelas layanan yang terstandarisasi. Temuan di beberapa daerah, sebagai contoh, fasilitas Cath Lab jantung sudah tersedia di rumah sakit, namun dokter spesialisnya yang tidak ada. Kami meminta Kemenkes memberikan fokus khusus terhadap ketersediaan SDMK ini," kata Robert.

Ketiga, pemerintah perlu menetapkan skema pembayaran iuran yang berkeadilan, yang diawali sosialisasi dan konsultasi publik. Dia menilai, hal ini krusial guna mengantisipasi adanya isu peserta JKN yang beralih menjadi peserta non-aktif.

Selain itu, rencana pemberlakuan iuran baru tersebut mesti menggugah kesadaran pengelola rumah sakit untuk membenahi tata kelola layanan mereka.

"Besaran iuran peserta bergantung hasil evaluasi yang dilakukan selama penerapan KRIS di tahap awal. Ombudsman Pusat dan Kantor-Kantor Perwakilan di 34 Propinsi proaktif memantau dan mengawasi sejauh mana rumah sakit mitra BPJS memanfaatkan fase transisi ke depan untuk sungguh berbenah," dia menegaskan.

Keempat, katanya, KRIS harus menghadirkan tingkatan lanjut bagi perbaikan layanan kesehatan masyarakat. Pemberlakuan standar itu, katanya, tidak boleh sebatas standar ruang perawatan tetapi lebih-lebih lagi standar layanan medis dan bahkan non-medis.

Menurutnya,keadilan akses yang menjadi inti semangat dari standardisasi tersebut tidak boleh berarti kesetaraan untuk memperoleh layanan yang buruk, tetapi kesetaraan dalam menikmati hak dan jaminan layanan kesehatan yang prima.

“Keadilan sosial antar-warga dan keadilan regional antar-wilayah menjadi narasi besar yang menjadi semangat di balik pemberlakuan KRIS sebagaimana ditetapkan Perpres Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan,” ujarnya.*

Baca juga: Komisi IX DPR sebut sistem KRIS BPJS tegakkan prinsip keadilan

Baca juga: Komisi IX DPR sebut sistem KRIS BPJS Kesehatan miliki dua manfaat

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024