Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Eugenia Mardanugraha mengatakan harga murah yang ditawarkan penyedia jasa internet berbasis satelit, Starlink belum tentu tergolong dalam praktik penjualan barang di bawah harga modal "predatory pricing".

"Karena yang namanya 'predatory pricing' tadi kan sudah dijelaskan (bahwa itu) tidak sekadar harga murah ya. Jadi kalau saya baca di media-media itu harga murah langsung menuduhnya, bilangnya 'predatory pricing' nah itu tidak benar," kata Eugenia di Jakarta, Rabu.

"Jadi bukan cuma untuk produk ini saja tetapi untuk semua produk-produk di mana pesaing itu masuk dengan harga yang lebih murah itu belum tentu dan kemungkinan besar itu bukan 'predatory pricing'," tambah dia.

Anggota KPPU lainnya, Hilman Pujana menambahkan bahwa praktik tersebut tidak hanya tentang harga jual yang lebih murah, tetapi ada sejumlah persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk bisa disebut sebagai "predatory pricing".

Baca juga: KPPU awasi Starlink agar tercipta persaingan sehat antarpelaku usaha

Baca juga: Kemenkominfo pastikan Starlink sudah penuhi syarat sebagai PJI


Akademisi dari Universitas Indonesia Ine Minara Ruky menjelaskan bahwa "predatory pricing" adalah sebuah strategi yang bertujuan untuk menyingkirkan semua pesaing dari pasar dengan menetapkan harga di bawah biaya untuk mendapatkan posisi monopoli.

"Tapi setelah itu dia harus punya kemampuan untuk memulihkan kerugian yang dia derita selama masa predatory dengan menetapkan harga yang sangat tinggi, harga monopoli kepada konsumennya. Nah untuk berhasil seperti itu, secara teori akan sangat sulit.

Adapun di industri digital, kata dia, praktik tersebut tidak lazim. Persaingan di industri digital bersifat destruktif dan berbasis inovasi, sehingga pemain yang unggul dalam inovasi bisa menggantikan pemain lama.

Namun, pemain lama yang tersingkir, biasanya akan kembali melakukan riset dengan berusaha memproduksi produk baru untuk bersaing mengalahkan pemain unggul.

Dia mengatakan persaingan mencapai posisi monopoli dengan unggul dalam inovasi merupakan hal yang sah secara bisnis.

"Nah untuk itu, persaingan yang lebih baik, mereka harus berubah perilakunya di dalam meningkatkan kualitas pelayanannya, di dalam meningkatkan kestabilannya, kemudian kecepatan dari pengunduhan, download. Jadi bersaing lah dalam kualitas," kata Ine.

Starlink diketahui memberikan potongan harga sebesar 40 persen untuk penjualan perangkat di Indonesia hingga 10 Juni. Dengan diskon tersebut, perangkat Starlink ditawarkan dengan harga Rp4,68 juta dari harga Rp7,8 juta.

Ine mengatakan langkah yang dilakukan Starlink tersebut bukanlah termasuk "predatory pricing" melainkan "promotional pricing" atau harga promosi, dan hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam bisnis.

"Terkait Starlink, dia kan menetapkan harga diskon ada batas waktu, sampai kalau tidak salah 10 Juni. Itu bukan predator ... Kalau 'predatory pricing' itu menerapkan harga yang di bawah biaya dan dalam jangka waktu tidak terbatas sampai dengan pesaingnya semua tersingkir dari pasar, sehingga dia memperoleh posisi monopoli, itu dia 'predatory pricing'. Ini tidak mungkin menurut saya," kata Ine.

Baca juga: Peneliti sebut kehadiran Starlink percepat digitalisasi kesehatan

Baca juga: Kehadiran Starlink dan pentingnya menjaga kedaulatan siber

Baca juga: KKP uji coba Starlink Elon Musk pada kapal pengawas


 

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024