Quetta, Pakistan (ANTARA News) - Delapan anggota keluarga yang sedang tidur tewas dalam serangan terhadap rumah dua pemimpin milisi pro-pemerintah Pakistan di provinsi bergolak Baluchistan pada Minggu, kata sejumlah pejabat.

Korban terdiri dari sejumlah wanita dan anak-anak serta dua pria kakak-beradik, yang membantu memimpin milisi lokal di daerah Dera Bugti, sekitar 250 kilometer sebelah baratdaya ibu kota provinsi itu, Quetta, kata polisi yang dilansir Reuters.

"Ghazi Khan Marhata Bugti dan saudaranya, Imam Bakhsh, adalah komandan-komandan Pasukan Perdamaian Bugti, dan seluruh keluarga mereka tewas dalam serangan itu," kata menteri dalam negeri provinsi itu Asad Gilani.

Dua penyerang juga tewas dalam tembak-menembak yang terjadi kemudian dengan anggota-anggota lain milisi itu, katanya, dan empat penyerang lain tewas dalam bentrokan susulan dengan Korps Perbatasan, sebuah pasukan paramiliter yang dikelola pemerintah.

Seorang juru bicara pasukan itu mengatakan bahwa kelompok separatis terlarang, Tentara Republik Baloch, membunuh keluarga itu karena mereka bekerja sama dengan pasukan keamanan.

Sejumlah kelompok militan beroperasi aktif di Baluchistan, provinsi terbesar namun termiskin di Pakistan. Kekerasan sektarian antara Sunni dan Syiah terjadi di wilayah yang berbatasan dengan Iran dan Afghanistan itu.

Dua serangan bom besar di Quetta pada Januari dan Februari 2013 yang ditujukan pada orang Syiah dari komunitas etnik Hazara menewaskan hampir 200 orang.

Separatis Baluchistan mengobarkan kekerasan sejak 2004 untuk menuntut otonomi politik dan pembagian lebih besar dari kekayaan minyak, gas dan mineral di wilayah yang penduduknya dilanda kemiskinan itu.

Kelompok militan Lashkar-e-Jhangvi (LJ) yang terkait dengan Al Qaida juga mengobarkan serangan-serangan terhadap minoritas Syiah, dan beberapa aparat kepolisian di kota itu menyatakan mereka diancam oleh kelompok tersebut.

Pakistan dilanda serangan-serangan bom bunuh diri dan penembakan yang menewaskan lebih dari 5.200 orang sejak pasukan pemerintah menyerbu sebuah masjid yang menjadi tempat persembunyian militan di Islamabad pada Juli 2007.

Kekerasan sektarian meningkat sejak gerilyawan Sunni memperdalam hubungan dengan militan Al Qaida dan Taliban setelah Pakistan bergabung dalam operasi pimpinan AS untuk menumpas militansi setelah serangan-serangan 11 September 2001 di AS.

Pakistan juga mendapat tekanan internasional yang meningkat agar menumpas kelompok militan di wilayah baratlaut dan zona suku di tengah meningkatnya serangan-serangan lintas-batas gerilyawan terhadap pasukan internasional di Afghanistan.

Para pejabat AS mengobarkan perang dengan pesawat tak berawak terhadap para komandan Taliban dan Al Qaida di kawasan suku baratlaut, dimana militan bersembunyi di daerah pegunungan yang berada di luar kendali langsung pemerintah Pakistan.

Pasukan Amerika menyatakan, daerah perbatasan itu digunakan kelompok militan sebagai tempat untuk melakukan pelatihan, penyusunan kembali kekuatan dan peluncuran serangan terhadap pasukan koalisi di Afghanistan.

Islamabad mendesak AS mengakhiri serangan-serangan pesawat tak berawak, sementara Washington menuntut Pakistan mengambil tindakan menentukan untuk menumpas jaringan teror.

Sentimen anti-AS tinggi di Pakistan, dan perang terhadap militansi yang dilakukan AS tidak populer di Pakistan karena persepsi bahwa banyak warga sipil tewas akibat serangan pesawat tak berawak yang ditujukan pada militan di sepanjang perbatasan dengan Afghanistan dan penduduk merasa bahwa itu merupakan pelanggaran atas kedaulatan Pakistan.

Pesawat-pesawat tak berawak AS melancarkan puluhan serangan di kawasan suku Pakistan sejak pasukan komando AS membunuh pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dalam operasi rahasia di kota Abbottabad, Pakistan, pada 2 Mei 2011.

(Uu.M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014