Jakarta (ANTARA News) - Kurs rupiah di pasar spot antar bank Jakarta, Selasa pagi, merosot tajam jauh di atas angka Rp11.000 per dolar AS, meski Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada inflasi Desember lalu mengalami deflasi 0,04 persen.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turun tajam menjadi Rp11.120/11.240 per dolar AS dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya Rp10.900/11.000 atau merosot 220 poin.
Direktur Retail Banking PT Bank Mega Tbk, Kostaman Thayib, di Jakarta, mengatakan koreksi terhadap rupiah terutama disebabkan pelaku pasar membeli dolar AS dalam jumlah besar.
Pelaku pasar membeli dolar untuk membayar hutang yang jatuh tempo kepada kreditor, terutama BUMN seperti Pertamina dan PLN, katanya.
Menurut dia, Bank Indonesia (BI) pada hari kerja kedua tahun ini kemungkinan belum aktif turun ke pasar mengawasi kegiatan bank-bank asing yang bermain valas.
Akibatnya transaksi valas di pasar didominasi aksi beli dolar AS yang cukup besar, sehingga memicu kemerosotan tajam rupiah, katanya.
BI, lanjut dia, biasa mengamati dengan ketat pergerakan transaksi kedua mata uang itu di pasar, namun melihat pergerakan rupiah yang stabil pada kisaran antara Rp10.900 hingga Rp10.950 per dolar AS mengurangi pengawasannya.
Keterpurukan rupiah saat ini hanya sementara, karena peluang untuk menguat kembali masih cukup besar, ucapnya.
Ia mengatakan, pemerintah melalui Departemen Keuangan akan melakukan penawaran Surat Utang Negara sebanyak 24 kali dengan nilai sebesar Rp99 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik lagi.
Selain itu pemerintah juga mencanangkan dana sebesar Rp50 triliun untuk Usaha Kecil dan Menengah, karena sektor ini cukup tahan terhadap tekanan krisis, katanya.
Karena itu, menurut dia, ke depan rupiah akan kembali membaik dan mampu berada di bawah angka Rp11.000 per dolar AS.
"Kami optimis pasar masih positif terhadap pergerakan rupiah melihat upaya pemerintah yang sangat gencar mendorong ekonomi melalui paket stimulus," ucapnya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2009