Bandung (ANTARA News) - Ketika kopiah menjadi kelengkapan sehari-hari pria, berpuluh-puluh tahun lalu, tersebutlah M Iming sebagai merk terkenal.

Kini, ketika tutup kepala itu tak lagi banyak dicari, M Iming masih diproduksi dengan mempertahankan ciri khasnya sejak seabad lalu.

Ciri khas utama M Iming adalah kopiah beludru hitam polos yang di dalam lapisannya tidak menggunakan kertas. Dalam kopiah itu terdapat jahitan dengan pola khas dan tulisan M Iming Bandoeng.

Merk M Iming tidak lain merupakan bisnis kopiah peninggalan Mas Iming, lelaki asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang ikut merantau ke Bandung bersama orang tuanya.

Dia mengenal cara memproduksi kopiah setelah menikahi Ningsih, anak dari seorang pemilik hotel di Pasar Baru, Bandung.

Mas Iming tidak turut menggeluti bisnis hotel mertuanya, tapi dia malah tertarik pada bisnis kopiah yang merupakan usaha dari kakak iparnya, Tayubi.

Menurut Ella, generasi ke empat yang meneruskan bisnis kopiah M Iming,

Mama Iming, begitu ia memanggil buyutnya, memerlukan waktu dua tahun untuk benar-benar menguasai produksi kopiah.

Pada 1914, kata Ella yang ditemui di Toko M Iming di Jalan Ahmad Yani, Bandung, Tayubi menyerahkan toko kopiahnya ke Mas Iming, setelah dia meyakini bahwa adik iparnya itu sudah menguasai seluk beluk kopiah.

Tayubi sengaja menyerahkan toko kopiahnya itu ke Mas Iming karena dia lebih fokus bermusik, yaitu bermain violin.

Maka, jika mengacu pada dimulainya Mas Iming mengelola toko kopiah itu, genap seabad sudah dia mewarnai kancah perkopiahan nasional.

Setelah merasa percaya diri dengan keahliannya membuat kopiah, Mas Iming memutuskan untuk mandiri dan membuka usaha.

Ia pun pulang ke rumah orang tuanya di Groote Postweg, yang sekarang menjadi Jalan Ahmad Yani, Bandung.

Tepat tahun 1918, ia menjajakan kopiah buatannya di depan rumah panggungnya.

Ia membuat kopiah dengan ciri khas yang ia buat sendiri dengan nama kopiah M Iming.

Kopiah produksi awalnya itu dia kemas menggunakan kotak kayu bekas kemasan sabun cuci.

Dari rumah di jalan Ahmad Yani itulah kemudian kopiah M Iming menjadi produk yang terkenal. Kini, pada setiap kemasan kopiah M Iming tertempel tulisan "Sejak 1918".

Pada masa pendudukan Jepang, rumah itu diduduki penjajah. Mas Iming sempat menyembunyikan berbagai kelengkapan untuk memproduksi kopiah, termasuk semua mesin jahit. Kemudian dia pergi mengungsi.

Tak lama, Mas Iming mendapatkan hak kepemilikan rumahnya dan memulai kembali usaha kopiahnya.

Mulai saat itu tokonya diberi nama Toekang Kopeah. Kopiah Mas Iming berada di puncak kejayaannya pada saat peperangan di Indonesia berakhir.

Dari pernikahannya dengan Ningsih, Mas Iming memiliki dua orang anak. Namun salah satu anaknya wafat pada usia tujuh belas tahun. Mas Iming pun memiliki dua orang cucu, dengan enam orang cicit dari cucu pertamanya.

Setelah Mas Iming meninggal pada tahun 1960, bisnis kopiahnya kini sudah diteruskan hingga generasi ke empat.

Mempertahankan tradisi
Adalah Ella HA Soedja'i, putri bungsu dari M Hatta Adang Soedja'i, cucu pertama Mas Iming, yang meneruskan bisnis keluarga itu.

Ella dipercaya untuk mendiami rumah lama Mas Iming dan mengelola toko kopiah itu bekerja sama dengan lima orang kakaknya.

Dia dianggap paling dekat dengan sang ayah dan diamanati untuk selalu melestarikan bisnis keluarga itu.

Ayah Ella, yang merupakan cucu pertama dari Mas Iming, diajarkan secara langsung oleh ayahnya cara membuat kopiah dengan gaya khas M Iming. Keahliannya itu kemudian juga diturunkan kepada anaknya, Ella.

Ella mengaku menjalankan amanat untuk meneruskan dan menjalan bisnis keluarganya itu. Dia juga mempertahankan keberadaan toko M Iming di Jalan ahmad Yani sebagaimana aslinya, karena hal itu merupakan sejarah keluarga.

"Tidak ada yang berubah dari toko kopiah M Iming," kata Ella.

Dia mengaku hanya merenovasi sedikit bangunan toko kopiah M Iming. Bahkan, lemari kopiah milik Mas Iming masih berdiri kokoh di toko itu.

Bangunan toko kopiah M Iming, kini, berada di antara deretan toko sepeda. Toko itu paling menonjol di sana karena bangunannya yang klasik, berdinding batu, berdaun pintu kayu yang diapit jendela kaca di sisi kanan dan kirinya.

Di dalamnya terdapat etalase dan lemari-lemari jati berisi kopiah yang dijajakan sesuai harga.

Di pojok kiri dekat jendela, terdapat kursi dari kayu jati milik keluaraga yang sudah ada sejak dulu.

Tulisan M Iming masih tertera di bagian luar bangunan itu. Di dekat jendela di bangunan itu terukir tulisan "Toekang Kopeah". Itulah ciri khas peninggalan Mas Iming yang juga terus dipertahankan.

Ella juga mengaku berupaya terus mempertahankan proses transaksi di toko itu yang dijalankan oleh Mas Iming.

Mas Iming menggunakan proses ijab antara penjual dan pembeli dalam setiap transaksinya.

Menurut Ella, serah terima barang itu dilakukan agar kopiah tersebut bermanfaat untuk pemiliknya, karena Mas Iming sangat menjunjung pelanggan-pelanggan kopiahnya.

"Nyanggakeun Kopeahna, ditampi artosna, mugia janten mangpaat kanggo anu nganggona,". Begitu Ella memperagakannya dalam bahasa Sunda.

Kalimat itu artinya "ini kopiahnya, diterima uangnya. Semoga menjadi manfaat untuk yang mengenakannya."

Ella pun mengaku saat ini sulit untuk membuat setiap orang menggunakan kopiah, terutama di kalangan anak muda.

Menurut Ella, bahkan anak-anaknya pun hanya menggunakan kopiah pada momen-momen tertentu.

Orang-orang yang membeli kopiah ke toko itu sekarang kebanyakan pelanggan yang sudah lama membeli kopiah M Iming.

"Mereka seperti reuni. Nah nanti diceritakan kepada anak cucunya. Itu merupakan strategi promosi juga," kata Ella.

Cicit Mas Iming itu mengaku bahwa kopiah produksi mereka sudah melekat di hati para pelanggan, sehingga bertahannya merk M Iming juga berasal dari doa yang tulus dari para pelanggan setianya.

Ella mempertahankan ciri khas M Iming, yaitu kopiah beludru polos. Beludrunya kini dia impor dari Korea, bukan lagi dari Amerika dan Jepang yang lebih mahal.

Ia kesulitan menemukan beludru yang sama persis digunakan oleh Mas Iming pada zaman dulu, namanya Sendok Emas, yang terkenal akan kelembutan beludrunya dan warnanya yang hitam legam.

Kalau pun ada, harganya pasti sangat mahal dan berimbas pada harga jual kopiah yang akan sangat tinggi. Saat ini Ella membanderol kopiahnya berkisar Rp 40.000 sampai Rp150.000.

Dia juga menerima pesanan satuan khusus sesuai keinginan pelanggan.

Tidak banyak perubahan yang dibuat Ella, karena menurutnya butuh pertimbangan yang banyak ketika ingin membuat inovasi pada kopiah M Iming, yang sudah terkenal dengan beludru polosnya.

Kini, toko Kopiah M Iming juga ada di jalan PHH Mustapa, Bandung. Toko itu dikelola oleh cicit dari cucu Mas Iming yang kedua.

Di sana, selain dijajakan kopiah M Iming, juga terdapat barang-barang khas ibadah haji, seperti tasbih, sajadah, mukena, dan baju koko.

Kopiah yang dijajakan di sana pun sudah berinovasi, ada kopiah songket, dan kopiah M Iming dengan tambahan beragam aksen.

Ella sebenarnya juga memiliki keinginan untuk menjajakan barang lainnya, seperti baju dan aksesoris lainnya.

Namun, ia tetap kembali kepada amanat ayah dan buyutnya, yaitu M Iming hanya membuat kopiah, tidak ada yang lain.



Oleh Sapto HP dan Dina Nurdiani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014