Moskow (ANTARA News) - Iran tidak akan mengirim pasukan untuk melawan serbuan pejuang di Irak, tapi akan memasok senjata jika pemerintah di Baghdad minta bantuan, kata wakil menteri luar negeri pada Selasa.

"Kami tidak berniat mengirim pasukan ke Irak. Irak memiliki tentara kuat," kata Hossein Amir Abdollahian pada kunjungan ke Moskow, meskipun ia mengatakan negaranya akan mengirim penasehat tentara.

Ia menyatakan Irak belum minta senjata, tapi jika ada permintaan seperti itu, Iran akan memasok senjata, yang diperlukan untuk memerangi terorisme.

Iran bertekad mendukung Bagdad sekutunya terhadap pemberontakan pimpinan Negara Islam Irak dan Laut Tengah Timur (ISIL), yang pejuangnya telah menguasai wilayah sangat luas lima propinsi Irak sejak melancarkan serangan pada awal Juni.

Pada jumpa pers setelah bertemu dengan tipalan Rusia-nya membahas serangan di Irak dan Suriah tetangganya, ia juga minta semua orang di Irak mematuhi undang-undang dasar negara tersebut.

Saat berbicara sesudah pihak berwenang Kurdi mengatakan akan mengadakan penentuan pendapat tentang kemerdekaan daerah dalam beberapa bulan, diplomat itu mengatakan sekarang penting mengambil langkah untuk mencegah negara tersebut pecah.

"Daripada melamun, pemimpin Kurdistan Irak harus melihat kenyataan," katanya.

Pada Minggu, gerilyawan ISIL mengumumkan mendirikan kekhalifahan di wilayah Irak dan Suriah, yang dikuasai kelompok tersebut.

Hampir 2.000 orang tewas di Irak pada bulan ini, jumlah terbesar sejak Mei 2007, kata data pemerintah pada Senin.

Data kumpulan Departemen Kesehatan, Dalam Negeri dan Pertahanan itu menunjukkan bahwa jumlah korban tewas pada Juni adalah 1.922 orang, terdiri atas 1.393 warga, 380 tentara dan 149 polisi.

Sementara itu, 2.610 orang terluka, menurut data itu, yang terdiri dari 1.745 warga sipil, 644 tentara dan 221 polisi.

Gelombang kekerasan terjadi bersamaan dengan kemunculan gerilyawan pimpinan ISIL di lima propinsi di utara dan barat Bagdad dalam serangan, yang membuat waspada pemimpin dunia.

Korban terkini jatuh pada malam menjelang pembukaan sidang parlemen Irak setelah pemilihan umum pada 30 April, dengan pemimpin dunia dan ulama mendesak negara tersebut menyatukan politisi, yang terbelah, guna mengatasi ancaman pemberontak tersebut, AFP melaporkan.

(SYS/B002/H-AK)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014