Kupang (ANTARA News) - Komite Nasional Pulau Pasir menilai pengakuan kepemilikan Australia atas Pulau Pasir (Ashmore Islands) masih sangat lemah yang bisa digugat Indonesia melalui taktik diplomasi untuk mengambil kembali gugusan kepulauan tersebut ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. "Motivasi Australia memiliki pulau itu karena kaya dengan minyak dan gas bumi. Kesepakatan Perth 1997 dan MoU 1974 tidak bisa dijadikan alasan hukum oleh Australia untuk mengklaim Pulau Pasir sebagai bagian dari teritorinya," kata Wakil Ketua I Komite Nasional Pulau Pasir, Moh Rodja SH, ketika menghubungi ANTARA Kupang dari Jakarta, Jumat. Ia mengemukakan hal ini berkaitan dengan pernyataan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, yang mengatakan bahwa kedaulatan Australia atas "Ashmore Islands" telah lama diketahui secara internasional oleh Indonesia dan Australia. Menurut dia, hal itu diketahui oleh kedua negara seperti yang tertuang dalam Kesepakatan Perth 1997 dan Nota Kesepahaman (MoU) 1974 mengenai akses nelayan tradisional Indonesia ke "Ashmore Islands" untuk mencari ikan, teripang dan biota laut lainnya di gugusan kepulauan tersebut. Moh Rodja mengemukakan apa yang dikatakan Dubes Australia soal akses nelayan tradisional Indonesia ke Pulau Pasir itu hanyalah sebuah guyonan politik yang sangat tidak lucu, karena jauh berbeda dengan fakta yang dialami nelayan tradisional Indonesia. "Bukankah nelayan kita diusir, ditembak dan perahu-perahu mereka dibakar oleh patroli angkatan laut serta penjaga pantai Australia? Akses apa yang diberikan Australia kepada nelayan kita untuk mencari ikan dan biota laut lainnya di Pulau Pasir," kata Rodja dengan nada tanya. Ia menegaskan Komite Nasional Pulau Pasir terus berjuang untuk mendapatkan kembali Pulau Pasir di Laut Timor ke dalam wilayah NKRI, karena fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan itu sudah 400 tahun lampau dikelola oleh orang Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). "Kita akan terus membangun dialog dengan mitra terkait seperti Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir serta mencari dukungan politik dari pemerintah pusat dan daerah untuk merebut kembali Pulau Pasir yang kini telah diklaim Australia sebagai bagian dari teritorinya," katanya menegaskan. Berdasarkan bukti sejarah yang ada, katanya, Pulau Pasir yang kini telah diganti namanya oleh Australia menjadi Ashmore Reef atau Pulau Cartier atau Ashmore Islands itu adalah milik yang sah Indonesia. Selain tertulis dalam register Gubernur Jenderal Hindia Belanda, seorang penulis dari Australia, Ruth Balint dalam bukunya "Troubled Water: Borders, bounderies and possesions in the Timor Sea, 2005" juga mengatakan bahwa Pulau Ashmore itu adalah milik Indonesia. Ruth Balint memberikan argumentasi bahwa sudah ratusan tahun nelayan Indonesia mencari ikan, teripang dan biota laut lainnya di sekitar pulau tersebut dan berkebun di atas Pulau Pasir serta kuburannya ada di pulau itu. Prof DR Herman Yohanes (almarhum) dari Universitas Gajah Mada (UG) Yogyakarta, pada saat hidupnya juga menegaskan bahwa Pulau Pasir di Laut Timor adalah milik sah dari Indonesia. "Pulau Pasir ini adalah miliknya kerajaan Rote dan sejak abad ke-15 sudah berada di bawah pengelolaan Hindia Belanda. Dengan berbagai alasan soal landasan kontinen pun, Pulau Pasir tetap menjadi milik Indonesia," katanya. Secara terpisah, Ketua Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni yang dihubungi secara terpisah di Kupang, mengatakan Pulau Pasir akhirnya dengan mudah jatuh ke tangan Australia karena lemahnya diplomasi Indonesia dalam memperjuangkan eksistensi gugusan kepulauan tersebut. "Sejumlah fakta sejarah telah kami sampaikan ke Departemen Luar Negeri untuk meneruskan perjuangan rakyat NTT atas klaim Australia terhadap Pulau Pasir, namun sampai sejauh ini, Jakarta tampaknya masih berdiam diri," ujarnya. Moh Rodja menambahkan Australia sampai akhirnya menyerobot dan menguasai Pulau Pasir itu karena di lokasi itu terdapat kandungan minyak dan gas yang sangat banyak, sehingga melarang nelayan Indonesia untuk mencari nafkah hidup di kawasan itu, meski sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. (*)

Copyright © ANTARA 2006