Jakarta (ANTARA News) - Menjelang libur panjang Idul Fitri 1427 H, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada pekan depan diperkirakan mengalami kecenderungan melemah akibat 'profit taking' (ambil untung). Analis Riset PT Paramitra Alfa Sekuritas, Rifki I. Hasan, kepada ANTARA di Jakarta, akhir pekan, mengatakan mendekati liburan panjang investor cenderung melakukan 'profit taking'. "Para investor mengambil dana untuk persiapan liburannya," katanya. Namun, lanjut Rifki, penurunan indeks tidak terlalu dalam, karena dilihat tren pada saat bulan puasa tahun ini transaksi tetap ramai. "Transaksi di bulan puasa tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang tetap ramai, dan bahkan transaksi rata-rata di atas Rp1 triliun," ungkapnya. Menurut dia, para investor kemungkinan memajukan 'window shopping' (belanja saham) menjelang akhir tahun. "Saya kira para manajer investasi lokal dan asing sudah memajukan 'window shopping'-nya menghadapi akhir tahun yang biasanya dilakukan pada bulan November," tambahnya. Analis Riset Evergreen Capital, Edwin Sebayang, mengatakan hal yang berbeda. Menurut dia, para investor pada pekan depan cenderung akan mengamankan asetnya di pasar sebelum menikmati liburan panjang. "Mereka akan keluar dulu, daripada nantinya tidak dapat apa-apa," katanya. Pada pekan lalu, IHSG mengalami kenaikan 27,220 poin berada di level 1.572,198 dibanding pekan sebelumnya yang ditutup pada posisi 1.549,629. Kenaikan ini melanjutkan tren "bullish" mengikuti tren di bursa Wall Street, New York, yang terus membuat rekor tertinggi. Kenaikan bursa saham Wall Street ini masih terdorong oleh sinyal bank sentral AS (The Federal Reserve) yang akan menurunkan suku bunganya setelah data ekonomi AS menunjukkan data yang menggembirakan. Naiknya bursa Wall Street ini telah mendorong saham di bursa regional, termasuk BEJ, untuk mengikutinya. Walaupun ada kekhawatiran yang muncul akibat uji coba nuklir Korea Utara, namun hanya bersifat sementara dan pasar kembali tenang guna melanjutkan kenaikannya. Saham yang masih memiliki potensi adalah saham-saham yang sensitif terhadap suku bunga, seperti perbankan, infrastruktur, consumer dan property. "Jika properti naik, maka akan diikuti oleh sektor semen," tambah Rifki. (*)

Copyright © ANTARA 2006