Jakarta (ANTARA News) - Dirut BNI yang juga Ketua Umum Persatuan Perbankan Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, mengatakan penurunan suku bunga BI (BI rate) tidak mempunyai pengaruh langsung pada penurunan jumlah kredit bermasalah (NPL), penyaluran kredit dan suku bunga kredit. "Pengaruh BI rate terhadap NPL tidak ada hubungan lansung. Kalau diurut-urut memang ada hubungannya," kata Sigit di Jakarta, pekan lalu. Sigit mengemukakan penurunan BI rate akan berdampak kepada suku bunga penjaminan (yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan), kemudian berpengaruh kepada penurunan suku bunga dana pihak ketiga seperti giro, tabungan dan deposito. "Setelah itu baru suku bunga kredit bisa turun," katanya. Dikatakannya secara teori, jika suku bunga kredit turun, maka resiko NPL akan lebih baik. "Tetapi tidak otomatis karena BI rate turun, maka NPL jadi beres," katanya. Sigit menjelaskan penurunan NPL dipengaruhi oleh penanganan risiko kredit, dan bukan hanya dengan penurunan suku bunga saja. Penanganan NPL antara lain dengan restrukturisasi atau perhitungan kembali kredit dengan kemampuan nasabah untuk membayarnya. Sigit juga mengatakan bahwa penurunan BI rate tidak berhubungan langsung dengan penyaluran kredit dan penurunan suku bunga kredit. Suku bunga pinjaman dipengaruhi "cost of fund" atau biaya dana (simpanan) masyarakat, katanya. Kalau "cost of fund" turun, maka bisa berpengaruh kepada bunga pinjaman, ujarnya. "Tapi tidak gampang menurunkan 'cost of fund' begitu saja, nasabah bisa pindah ke bank lain. Jadi kenapa tidak langsung otomatis suku bunga kredit turun karena kita harus jaga suku bunga deposito," katanya. Faktor kedua yang mempengaruhi bunga kredit adalah margin yang ingin diharapkan. Faktor ketiga adalah premi resiko, yakni usaha yang mempunyai resiko tinggi maka akan dikenakan premi yang lebih besar sehingga suku buganya menjadi lebih tinggi. "Sehingga faktornya bukan hanya BI rate. BI rate tidak ada hubungannya langsung. Seperti kalau BI rate naik, anda tidak pernah nanya kapan suku bunga naik. Tapi kalau BI rate turun saya dikejar kapan BI rate turun," katanya. Logika keliru Menurut Sigit, saat ini juga ada logika yang keliru sehubungan fungsi intermediasi bank yang dianggap tidak jalan. Setelah BI menurunkan BI rate, katanya, dianggap otomatis kredit akan dikucurkan. "Pengucuran kredit bukan hanya karena BI rate, tapi juga bergeraknya sektor riil," katanya lagi. Sigit mengatakan untuk menggerakkan sektor riil perlu iklim usaha yang lebih baik dan kondusif. Sigit juga mengatakan tidak ada bankir yang sengaja tidak memberikan kredit. "Kita kerja keras untuk bisa memberikan kredit, karena misi kita di kredit," katanya. Permasalahannya, katanya, beberapa waktu lalu permintaan kredit di sektor riil juga menurun. "Tapi sekarang sudah mulai bergerak," katanya. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 5 Oktober memutuskan untuk menurunkan BI rate sebesar 50 basis poin (bps) dari 11,25 persen menjadi 10,75 persen. Penurunan BI rate tersebut kelanjutan dari penurunan yang telah dilakukan secara bertahap oleh otoritas moneter pada bulan-bulan sebelumnya. BI menurunkan BI rate pertama kali tahun ini pada 9 Mei, sebesar 25 basis poin dari 12,75 persen menjadi 12,50 persen. Ini adalah penurunan BI rate pertama kalinya setelah sejak 6 Desember 2005 hingga 5 April 2006 besarnya BI Rate tetap pada 12,75 persen. Pada 6 Juni BI rate tetap dipertahankan pada level 12,50 persen. Selanjutnya pada Juli BI rate turun kembali menjadi 12,25 persen, pada Agustus turun 50 basis poin menjadi 11,75 persen, dan pada September kembali BI rate diturunkan 50 basis poin menjadi 11,25 persen. BI menyatakan sinyal penurunan BI rate yang ditempuh sejak Mei 2006 telah direspon positif oleh para pelaku di sektor keuangan maupun riil. Di perbankan, meskipun masih terbatas, sinyal penurunan BI rate telah ditransmisikan ke suku bunga dana kredit bank. Fungsi intermediasi yang sebelumnya relatif terkendala, menunjukan peningkatan cukup besar pada Agustus 2006, tercermin dari kenaikan kredit sebesar Rp10,8 triliun. Perkembangan ini disertai dengan perbaikan resiko kredit, sebagaimana menurunnya rasio NPL menjadi 5,0 persen (neto) dan 8,8 persen (gross). Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin memperkirakan BI rate bisa turun menjadi sekitar sembilan hingga 9,5 persen pada akhir tahun 2006 jika tingkat inflasi tujuh persen dan suku bunga riil (real interest rate) sebesar dua hingga 2,5 persen. "Kalau inflasi tujuh persen, kemudian `real interest rate` kita jaga sekitar dua hingga 2,5 persen saja, itu kan sudah sembilan hingga 9,5 persen pada akhir tahun. Jadi kita akan bisa mencapainya," katanya di Jakarta, Jumat. Ia mengatakan dengan angka perkiraan BI rate itu sudah merupakan tingkat yang kondusif bagi perekonomian Indonesia sehingga diharapkan bisa bagus untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia. "Karena dengan BI rate di posisi itu harapan kita suku bunga kredit akan ikut menurun," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006