Dhaka, 5/1 (Antara/Reuters) - Bangladesh kini menghadapi dilema soal kebijakan penerapan reformasi keselamatan pekerja dalam industri garmen yang saat ini menyumbang 80 persen pendapatan ekspor di negara Asia Selatan itu.

Di satu sisi, keselamatan pekerja di industri garmen merupakan prioritas utama pemerintah setempat setelah runtuhnya gedung Rana Plaza pada April 2013 yang menewaskan lebih dari 1.100 orang. Gedung delapan lantai itu digunakan sebagai kantor sejumlah bank, pusat perbelanjaan, sekaligus pabrik penghasil kain.

Sehari sebelum runtuh, pihak bank dan pusat perbelanjaan menutup kantor setelah ditemukan retakan dalam gedung. Tetapi peringatan dari pengelola diabaikan oleh pemilik pabrik garmen dan tetap mewajibkan para buruh untuk bekerja. Akibatnya tragis.

Tetapi di sisi lain, reformasi keselamatan kerja memakan biaya yang mahal dan dinilai berpotensi mematikan pengusaha tekstil skala kecil-menengah Bangladesh.

Pada bulan lalu, salah satu pabrik penyuplai Adorn Knitwear Ltd di Bangladesh harus berhenti beroperasi dalam waktu yang lama saat pemeriksaan keamanan struktur gedung dilangsungkan.

"Kami kehilangan uang setiap menitnya," kata Rezaul Chowduri, sang pemilik pabrik. Setelah pemeriksaan selesai, Chowdury juga diwajibkan untuk memperbaiki sejumlah potensi kerusakan dengan biaya mahal.

Pabrik milik Chowdury merupakan salah satu perusahaan kecil yang menjadi subkontraktor penyedia produk tekstil untuk retailer dari negara-negara Barat.

Saat ini, sebanyak 20 persen dari 3.500 pabrik garmen di Bangladesh merupakan subkontraktor, demikian keterangan dari asosiasi eksportir dan pengusaha tekstil negara (BGMEA) tersebut. Jika perusahaan kecil yang berfungsi menjadi penyangga itu jatuh, dikhawatirkan Bangladesh tidak dapat mempertahankan posisinya sebagai pengekspor produk garmen terbesar kedua di dunia.

Sejak kejadian Rana Plaza, sudah dua pertiga pabrik garmen di negara tersebut diinspeksi keamanan gedungnya. Sebagian di antara mereka kemudian diwajibkan memperbaiki struktur gedung dengan biaya jutaan dolar AS.

Bagi perusahaan besar, kewajiban tersebut bukan merupakan masalah karena mereka mempunyai akses pembiayaan murah.

Namun ratusan pabrik kecil tidak mempunyai keuntungan tersebut. Akibatnya, sekitar 450 pabrik harus ditutup karena tidak mampu menjalankan kewajiban reformasi keselamatan pekerja.

Selain harus memperbaiki gedung, perusahaan subkontraktor itu juga harus mempercepat produksi garmen segera setelah proses inspeksi selesai. Menurut Bank Dunia, biaya percepatan itu mencapai 100.000 sampai satu juta dolar AS.

Menanggapi kondisi di Bangladesh, beberapa gabungan perusahaan busana ternama seperti Accord dan Alliance menjajikan investasi besar untuk membantu perbaikan keselamatan pekerja.

VF Corporation misalnya, anggota Alliance yang memayungi merk terkenal seperti The North Face dan Wrangler, mengumumkan akan membantu suplier di Bangladesh sebesar 10 juta dolar AS melalui Bank Dunia dan bank BRAC. Sampai saat ini, tiga subkontraktor VF sudah menerima 1,3 juta dolar AS dalam bentuk pinjaman.

Meski demikian, masih banyak pabrik garmen yang tidak menjual produknya ke Accord ataupun Alliance. Menurut perhitungan Organisasi Buruh Dunia, jumlah keseluruhan pabrik tersebut ada sekitar 1.800.

MGMEA sudah meminta kepada pemerintah Bangladesh untuk menyediakan bantuan dana pinjaman lunak kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Namun pemerintah hanya menanggapinya dengan mengatakan bahwa semuanya bergantung pada pemilik perusahaan untuk memenuhi standar keselamatan.

"Ini adalah tanggung jawab pemilik pabrik. Pilihannya adalah memperbaiki atau menutup usaha," kata sekretaris Kementerian Tenaga Kerja, Mikhail Shipar.

Menurut direktur bank BRAC, Rumi Ali, penyelamatan pabrik kecil bukan hanya penting untuk mempertahankan pangsa pasar internasional produk garmen dari Bangladesh tetapi juga bagi ekonomi secara keseluruhan.

"75.000 orang berpotensi kehilangan pekerjaan dan sebagian besar di antaranya adalah perempuan," kata dia.
(G005)
 

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015