Banda Aceh (ANTARA News) - Tidak kurang dari 4.528 hektare mangrove (hutan bakau) dan hutan pantai di seluruh kawasan pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang hancur dan rusak akibat tsunami 26 Desember 2004, kini sedang direstorasi Satuan Kerja (Satket) Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. "Saat ini program restorasi mangrove dan hutan pantai di 10 titik kawasan pesisir telah mencapai 90 persen tingkat keberhasilan penanamannya," kata Ir Anas Mahmudi, Ketua Satker Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup BRR NAD-Nias di Banda Aceh, Senin. Satker Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup berada di bawah kendali Direktrorat Program Ekonomi Kelautan dan Program Donor pada Deputi Pengembangan Ekonomi dan Bisnis BRR NAD-Nias. Ke-10 titik dimaksud adalah di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Utara, Langsa, Bireuen, Pidie, Sigli, dan Kota Banda Aceh. Berkaitan dengan program itu, Satker Pesisir dan Pengembangan Lingkungan Hidup mengundang tim evaluasi independen yang melibatkan akademisi, peneliti dan pers untuk melihat langsung 10 titik kawasan pesisir dan pantai yang dijadikan program restorasi tersebut. Selama 12 hari sejak Senin (4/12) tim evaluasi independen mendatangi ke-10 titik kawasan pesisir dan pantai yang sejak bulan Juli 2006 menjadi program restorasi. Menurut Anas Mahmudi, hal mendasar yang hendak dituju melalui program tersebut adalah bagaimana membuat "sabuk hijau" (green belt) di kawasan pesisir, dengan melibatkan sebesar-besarnya peran-serta masyarakat pesisir pantai. "Jadi (melalui program restorasi) itu dikombinasikan antara aspek penyelamatan lingkungan dengan pengembangan potensi ekonomi yang bisa didayagunakan dari kawasan pesisir dan pantai itu," katanya. Ia memberi contoh bahwa dari aspek lingkungan hidup, adanya dan hutan pantai, berdasarkan riset yang ada telah menunjukkan tumbuhan penguatan pesiri pantai, dengan ketinggian tertentu, mampu meredam terjangan ombak laut akibat gelombang tsunami hingga 20 persen. "Dari referensi dan riset yang pernah ada, adanya mangrove tersebut telah membuktikan mampu menekan laju kerusakan akibat tsunami," katanya. Sisi pengembangan aspek potensi ekonominya, kata dia, adalah adanya area yang selama ini secara tradisional oleh masyarakat pesisir di kawasan Aceh, telah dikelola menjadi pertambakan atau dikenal dengan konsep "pola tambak". "Program restorasi ini adalah memberikan wacana baru kepada masyarakat pesisir bahwa pertambakan yang selama ini sudah ada di area mangrove milik masyarakat bisa dikelola tanpa harus membabatnya, karena justru di kawasan itu menjadi sumber makanan biota laut, udang dan kepiting karena ada jasad renik," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006