Jakarta (ANTARA News) - Mantan wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana kembali menjelaskan kepada penyidik bahwa tindakannya bukanlah korupsi.

"Dari semua rangkaian pemeriksaan tadi, pada dasarnya kami menegaskan bahwa yang kami lakukan di Kementerian Hukum dan HAM bukan korupsi, ini adalah inovasi pelayanan publik di Kementerian Hukum dan HAM," kata Denny seusai diperiksa oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Indonesia di Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan pembuatan paspor "online" tersebut merupakan inovasi pelayanan publik, di mana pada awalnya pembuatan paspor masih secara manual dan dapat mengundang praktik percaloan.

Dalam pemeriksaan akhir itu, dia diajukan sepuluh pertanyaan oleh penyidik, dan pada pertanyaan terakhir dia mengajukan satu orang saksi meringankan yaitu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Prof Eddy OS Hiariej.

Denny Indrayana berharap dengan adanya saksi meringankan tersebut akan ada pemahaman yang lebih utuh pada penyidik.

"Jadi harapannya makin lengkap pemahaman penyidik, apa yang kami buat adalah perbaikan layanan publik. Karenanya kami berharap (kasus) ini bisa dipandang bukan sebagai tindak korupsi, tetapi inovasi pelayanan publik," tutur dia.

Penyidik akan menyampaikan waktu dipanggilnya Prof Eddy OS Hiariej sebagai saksi meringankan Denny.

Denny dituduh menyalahgunakan wewenang dalam proses pengadaan penyedia layanan pembayaran biaya pembuatan paspor secara elektronik atau yang disebut Payment Gateway saat menjadi wakil menteri.

Dia dikenakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 dan pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UUU No. 31 Tahun 199 jo pasal 421 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang menyalahgunaan kewenangan dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015