Kalau malam takbiran di kota Pontianak itu sepi, justru ramainya di tepian Sungai Kapuas karena masyarakat ramai-ramai ke sini liat meriam
Jakarta (ANTARA News) - "Duarrr, duaarrr...", meriam berdentum bersahutan, menggetarkan malam agung di Pontianak, Kalimantan Barat, sehari sebelum akhir Ramadhan tiba.

Begitu kencangnya dentuman itu, sampai suaranya terdengar hingga lima kilometer dari meriam itu berada. Bahkan, rumah-rumah yang berada dekat dengan meriam-meriam itu turut bergetar hebat.

Bukannya takut, warga Pontianak justru menyambut suara menggelegar bersahutan itu dengan gembira.

Dentuman sambung menyambung itu menjadi pertanda semakin dekatnya hari raya kemenangan umat muslim. Itulah meriam karbit. Tradisi lama Pontianak yang terus dijaga sampai detik ini.

"Bahkan selama sepuluh tahun belakangan ini, permainan meriam karbit semakin meriah karena didukung oleh pemerintah kota dengan dijadikan ajang lomba bagi para warga," kata Zainal Bahrul, warga yang tinggal di tepian Sungai Kapuas, Rabu.

Meriam karbit secara serentak akan dibunyikan saat malam takbiran, malam sebelum Hari Raya Idul Fitri. Namun, beberapa hari sebelumnya sudah ada meriam karbit yang dibunyikan untuk menguji seberapa kencang suaranya.

Di sepanjang tepian Sungai Kapuas, Pontianak, gelondongan meriam karbit tersusun rapi mewakili masing-masing kelompok masyarakat. Setiap kelompok jumlahnya bervariasi dan berasal dari gang atau RT.

Ukuran dan jumlah meriam karbit untuk setiap kelompok pun berbeda-beda. Sementara untuk kelihatan lebih cantik, meriam-meriam ini dicat dengan warna warna cerah dan dihias motif-motif tertentu.

Meriam karbit berbentuk silinder itu dibuat dari gelondongan kayu mabang, meranti atau ulin yang dililit dengan rotan. Ini bukanlah jenis permainan yang murah. Untuk satu meriam, dibutuhkan kayu hingga tujuh meter dengan diameter 80-100 cm seharga sekitar Rp2 juta sampai Rp5 juta.

Di dalamnya dimasukkan karbit yang dicampur dengan air. Sekali ledakan bisa malahap tiga kilogram karbit, padahal harga karbit bisa mencapai Rp2 juta untuk 100 kilogram, yang biasanya hanya cukup untuk dua hari.

"Kalau dari persiapan sampai bisa diledakkan, mungkin bisa habis Rp20 juta," jelas Zainal.

Tidak murah memang tetapi tidak pula menghalangi warga Pontianak di tepian Sungai Kapuas untuk terus menerus memelihara tradisi festival meriam karbit dari tahun ke tahun.

"Tradisi ini sudah turun temurun. Anak-anak kecil sudah jago menyulut meriam karbit, bahkan mungkin mereka tidak bisa tidur kalau enggak dengar suara ledakan meriam ini. Mereka juga diajari membuatnya," tutur Zainal.

Kemeriahan festival meriam karbit bahkan sudah sampai ke kota lain, mengundang wisatawan untuk menjadi saksi dentuman-dentuman itu  menyemarakkan malam takbiran di Pontianak.

"Bahkan suka ada wisatawan asing yang datang," ujar dia.

Tentu saja ini mendatangkan untung pada warga.

Apabila wisatawan ingin ikut menyulut meriam, mereka bisa menyumbang uang secara sukarela. Selain itu sejumlah warga pun berjualan "dadakan" berbagai macam jenis makanan karena kawasan itu nantinya akan dipadati manusia lintas kalangan dan usia yang berbondong-bondong menyaksikan festival ini.

"Kalau malam takbiran di kota Pontianak itu sepi, justru ramainya di tepian Sungai Kapuas karena masyarakat ramai-ramai ke sini liat meriam," kata Zainal.

Di kampung Zainal, sejumlah warga bergotong royong menghias deretan meriam karbit yang siap melawan kekuatan meriam karbit dari kampung lain menjelang "perang" pada malam takbiran nanti.

Gelondongan meriam-meriam dari Gang Haji Mursyid itu dihias dengan corak insan khas melayu.

Persiapan menjelang "perang" itu sudah ditempuh jauh-jauh hari.

Mereka berharap bisa mengulang sukses tahun sebelumnya karena kampung itu pernah mendulang prestasi dengan menjadi juara 3 festival meriam karbit tahun 2013 dan juara 1 pada 2014.

Selanjutnya, ketika pesta meriam karbit usai, meriam-meriam ini nantinya akan disimpan di dalam Sungai Kapuas agar tidak cepat rusak.

Di bawah asyik masyuk festival ini, ada satu hal yang mengganggu pikiran Zainal dan warga lainnya yang meneruskan tradisi meriam karbit.

"Sekarang susah sekali dapat kayu karena mulai langka akibat illegal logging. Padahal umur meriam karbit paling hanya dua sampai lima tahun. Makanya sekarang banyak meriam yang kecil, tidak terlalu besar," ungkap Zainal.

Dia melanjutkan, "Masalah lainnya, kalau kami beli gelondongan kayu (biasanya di Kampung Arang Kubu Raya), suka terkena razia polisi karena dianggap illegal logging. Padahal kami sudah membawa serta surat dari Forum Meriam Karbit untuk membeli kayu. Itu kan kayu bukan untuk kami jual lagi, tetapi untuk membuat meriam karbit."

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015