Saya katakan ini adalah pembohongan publik dan kekerasan terhadap sejarah seni rupa Indonesia
Jakarta (ANTARA News) - Para pelaku seni khawatir maraknya pemalsuan lukisan tidak hanya mencederai hak para seniman dan ahli waris mereka, tapi juga menodai sejarah seni rupa yang akan menjadi acuan bagi generasi mendatang.

Kekhawatiran itu membuat Perkumpulan Pencinta Seni Rupa Indonesia (PPSI) berusaha membendung peredaran lukisan palsu dengan upaya penyadaran, lewat kampanye-kampanye untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang karya seni rupa Indonesia dan kewaspadaan akan peredaran lukisan palsu.

Dalam diskusi tentang lukisan palsu di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (17/9), kurator dan penulis buku sejarah seni rupa Aminudin TH Siregar menjelaskan bahwa mengenali lukisan palsu membutuhkan keahlian dan pengetahuan, termasuk di antaranya keahlian mengenai teknik melukis; pengetahuan mengenai karya-karya seni rupa dan kroniknya; serta pemahaman sejarah seni rupa.

"Dan kadang lebih susah membuktikan yang asli dari pada yang palsu," katanya.

Keahlian dan pengetahuan untuk membedakan lukisan asli dan palsu itu tidak dimiliki oleh semua orang.

Sementara di Indonesia, sampai sekarang belum ada lembaga khusus yang bisa membantu memeriksa dan memverifikasi keaslian lukisan dan karya seni rupa yang lain.

"Kita butuh lembaga verifikasi yang dipegang oleh orang-orang profesional, orang-orang yang disumpah, orang-orang yang diseleksi ketat," kata Jean Couteau, penulis seni asal Prancis yang tinggal di Bali.

"Butuh lembaga akreditasi yang efisien dan lebih lengkap, yang dikelola oleh orang-orang netral, yang dianggap total netral," katanya.

Menurut dia, lembaga verifikasi lukisan tersebut harus meliputi para ahli yang memahami sejarah seni dan detail riwayat seniman beserta lingkungannya.

Lembaga itu juga harus memiliki laboratorium forensik lengkap dengan peralatan-peralatan pendukung ultra-modern yang bisa digunakan untuk memeriksa semua unsur dalam lukisan, seperti bahan-bahan pembuat cat lukis serta kerak, retakan, dan sapuan kuas dalam suatu lukisan.

"Ini mungkin bisa dikembangkan di universitas. Tapi lembaga itu bisa berada di bawah kepolisian," kata Couteau.

Aminudin, yang mengajar di Institut Teknologi Bandung, juga menggarisbawahi perlunya pendirian pusat penelitian sejarah seni rupa yang juga menjadi semacam lembaga verifikasi, lengkap dengan laboratorium forensik untuk meneliti lukisan.

Pemerintah, kata dia, bisa membentuk lembaga itu di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan membangun laboratorium-laboratorium forensik pendukungnya di universitas-universitas.

Para pelaku seni dan kolektor yang biasa mengeluarkan ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah untuk membeli lukisan pun, menurut dia, bisa membentuknya bersama-sama.  

"Kami sudah usulkan ke beberapa orang, mbok patungan. Kalau dapat yang palsu, kan kalian yang meriang...," katanya.

Selain pusat penelitian dan lembaga verifikasi, Aminudin menekankan, penyusunan buku sejarah seni rupa yang komprehensif, yang bisa menjadi acuan dalam memeriksa keaslian lukisan, juga sangat penting.

"Pemalsuan lukisan banyak terjadi karena lack of history, kurangnya pengetahuan tentang sejarah seni rupa, karena buku sejarah senirupa minim," katanya serta menambahkan saat ini hanya ada tiga buku berisi catatan sejarah seni rupa Indonesia dan itu pun album lukisannya tidak banyak.


Marak

Kurator museum dan pemilik balai lelang Sidharta Auctioneer, Amir Sidharta, mengatakan tingginya permintaan karya pelukis-pelukis ternama membuat pemalsuan lukisan marak.

"Berapa seringnya, saya enggak tahu cara mengukurnya. Tapi pada satu titik misalnya, ada yang saya lihat yang palsunya bisa tiga sampai lima kali lebih banyak dari yang asli," katanya tentang karya Hendra Gunawan (1918-1983), pelukis dan pematung kelahiran Bandung yang harga lukisannya miliaran rupiah dalam lelang.

Analis lukisan Hendra Gunawan Siont Tedja menggambarkan banyaknya pemalsuan lukisan Hendra Gunawan dengan menyebutkan bahwa semua lukisan dalam satu buku berjudul "Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat" palsu.

"Ada sekitar 240 lukisan, enggak ada satu pun yang asli," katanya.

Lukisan S. Sudjojono, yang dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Modern, juga sering dipalsukan. Aminudin antara lain menggambarkan banyaknya pemalsuan lukisan Sudjojono dengan koleksi museum milik Dr. Oei Hong Djien (OHD) di Magelang, Jawa Tengah.

"Dari 15 lukisan Sudjojono di OHD, 12 di antaranya diduga palsu," katanya.

Dia juga mengutip siaran pers S. Sudjojono Center (SCC) pada awal tahun 2000 yang menyebutkan bahwa sepanjang 1996-2000, dari 53 lukisan Sudjojono yang ditawarkan dalam 17 katalog lelang ada 17 lukisan palsu dan enam yang diragukan keasliannya.

SCC juga menyatakan bahwa 80 persen dari lukisan-lukisan yang dibawa ke SCC untuk keperluan verifikasi ternyata palsu.

Aminudin juga mengatakan bahwa permintaan pasar yang tidak wajar membuat lukisan-lukisan karya maestro seperti Raden Saleh, Affandi, Popo Iskandar, Srihadi S, Mochtar Apin, dan Ahman Sadali sering dipalsukan.

Penjualan lukisan palsu, menurut artikel Aminudin, tidak hanya dilakukan lewat situs-situs dunia maya dan galeri seni namun melalui balai-balai lelang dan pembelinya bukan hanya kolektor seni pribadi, tapi juga institusi pemerintah.

Peredaran lukisan palsu mesti dibendung karena para pemalsu lukisan dan penjual lukisan palsu tidak hanya merenggut hak para seniman dan ahli waris mereka, tapi juga membohongi publik dan menodai sejarah.

"Saya katakan ini adalah pembohongan publik dan kekerasan terhadap sejarah seni rupa Indonesia," demikian Aminudin TH Siregar.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015