Ponorogo (ANTARA News) - Ritual larung sesaji oleh masyarakat adat di delapan desa sekitar Telaga Ngebel, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu, berlangsung meriah.

Ribuan warga dan wisatawan tumpah-ruah di tepian Telaga Ngebel, demi menyaksikan detik-detik pelepasan "buceng lanang" sebelum dilarung ke tengah danau alami yang terletak di lereng Gunung Wilis itu.

Tidak hanya melihat prosesi larung, sebagian wisatawan dan warga lokal juga ikut berebut tumpeng "buceng wadon" berisi aneka buah-buahan dan hasil bumi di depan paseban utama, melainkan Telaga Ngebel.

Menurut sesepuh adat setempat, Dwijo Abdinagoro, prosesi larungan yang digelar rutin setiap tahun sekali dan digelar setiap 1 Muharam atau awal tahun baru Islam itu menjadi titik puncak rangkaian kegiatan Gerebek Suro yang digelar masyarakat Ponorogo di berbagai lokasi.

"Tradisi larungan ini menjadi puncak kegiatan grebek suro yang telah digelar seluruh lapisan masyarakat di berbagai tempat di Ponorogo," ujarnya.

Dwijo menjelaskan bahwa ritual larungan tersebut lebih dimaknai masyarakat adat di sekitar Telaga Ngebel sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat.

"Justru larungan ini menjadi semacam representasi rasa syukur kepada Allah. Tradisi ini juga digelar sebagai bagian perayaan tahun baru Islam, 1 Muharam 1437 Hijriah," ujarnya.

Nuansa Islam memang terlihat mewarnai prosesi kegiatan larungan, sejak mulai penyerahan panji dan benda pusaka oleh Penjabat Bupati Ponorogo Maskur kepada panitia larungan.

Kendati seremonial menggunakan adat-istiadat Jawa yang "kental", iringan gending atau musik tradisional menyertakan puja-puji kepada Allah SWT.

"Sejarah perkembangan Ponorogo memang tidak lepas dari masa penyebaran ajaran Islam sehingga muncul nuansa akulturasi budaya Jawa dengan budaya atau nilai-nilai Islam," terangnya.

Terlepas dari sejarah tradisi larungan yang menurut Dwijo sempat memicu pro-kontra di kalangan umat Islam Ponorogo, rangkaian kegiatan yang digelar mulai pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB itu berlangsung khidmat namun meriah.

Prosesi dilakukan dengan melibatkan puluhan warga berpakaian adat yang mengarak dua tumpeng bucengan (buceng lanang dan buceng wadon) mengelilingi Telaga Ngebel sepanjang lima kilometer lebih.

Setelah iring-iringan pengarak kembali ke titik pelepasan, salah satu "buceng" digotong turun ke tepi telaga untuk selanjutnya dilarung ke tengah danau menggunakan rakit yang didorong warga dengan cara berenang.

Sementara satu "buceng" lain diberikan kepada masyarakat dengan cara berebut di jalan raya, tepian Telaga.

"Prosesi purak maupun larungan ini yang paling ditunggu masyarakat karena diyakini memiliki makna dan memberi berkah bagi yang mendapatkan," ujar Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Sapto Jatmiko.

Tidak hanya gelaran larungan, ribuan pengunjung yang hadir dalam prosesi adat juga diisi berbagai hiburan musik dan kesenian tradisional yang mengiringi ritual tahunan tersebut.

Pewarta: Destyan HS
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015