Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong di Jakarta, Kamis mengatakan bahwa nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring dengan potensi bank sentral Amerika Serikat (the Fed) akan menaikkan suku bunga pada Desember mendatang.
"Pernyataan the Fed pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) Oktober ini memberi sinyal kenaikan suku bunganya di bulan Desember tahun ini. The Fed tidak lagi menunjukkan kekhawatiran terhadap dampak negatif dari lesunya ekonomi global," katanya.
Menurut dia, dengan situasi itu maka peluang kenaikan suku bunga the Fed pada tahun ini cukup besar sehingga dolar AS cenderung terapresiasi terhadap mayoritas mata uang utama dunia.
Kendati demikian, lanjut dia, penguatan dolar AS terhadap rupiah masih dapat ditahan dengan mendorong daya beli masyarakat di dalam negeri, salah satunya dengan memangkas suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate).
"Daya beli masyarakat yang meningkat akan menjaga pertumbuhan ekonomi domestik ke depannya, pada akhirnya akan menopang mata uang rupiah," katanya.
Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra menambahkan bahwa pasar saat ini juga sedang menanti data produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat pada kuartal III tahun ini serta data klaim pengangguran.
"Jika data itu dinilai positif pasar maka dolar AS berpotensi kembali menguat kembali," katanya.
Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada hari Kamis (29/10) mencatat nilai tukar rupiah bergerak menguat menjadi Rp13.562 dibandingkan hari sebelumnya (27/10) Rp13.630 per dolar AS.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015