Jakarta (ANTARA News) - Presiden Taiwan Ma Ying Jeou menyatakan bahwa pertemuannya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Singapura, Sabtu (7/11), merupakan tindak lanjut dari Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Bali pada 2013.

"Pada saat di Bali itu untuk pertama kalinya Dewan Menteri Taiwan Urusan Tiongkok Daratan (MAC) Wang Yu Chi bertemu dengan Menteri Tiongkok Urusan Taiwan Zhang Zhijun , keduanya saling memanggil sesuai dengan jabatan resmi masing-masing," katanya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Antara di Jakarta, Jumat.

Selanjutnya pertemuan tersebut diikuti dengan pertemuan konsultatif antara Menteri MAC Hsia Li Yan dan Menteri Zhang pada 23 Mei 2016 di Kinmen (Taiwan) dan 13 Oktober 2016 di Guangzhou (Tiongkok).

Dari pertemuan konsultatif itulah menghasilkan sebuah konsensus untuk meningkatkan pertemuan di Singapura dan keduanya telah memainkan peranan penting dalam hubungan lintas selat.

Dalam rilis yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Taiwan, Ma juga menjelaskan bahwa tujuan pertemuan itu untuk mengonsolidasikan perdamaian lintas selat dan mempertahankan status quo dengan memandang masa lalu dan menatap masa depan.

"Berdasar kerangka Konstitusi Taiwan, kami ingin mempertahankan status quo, yakni tidak ada unifikasi, tidak ada kemerdekaan, dan tidak ada pengerahan kekuatan. Justru kami mendorong perdamaian dalam pembangunan lintas selat atas dasar Konsensus 1992 Satu Tiongkok atas interpretasi masing-masing pihak," ujar Presiden Taiwan kelahiran Hong Kong 65 tahun silam itu.

Ada 23 kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak dalam tujuh tahun terakhir ini, Kesepakatan tersebut membawa peningkatan stabilitas dan perdamaian lintas selat dalam 66 tahun terakhir.

"Dan tugas kami sekarang mengurangi itikad buruk, berada di jalur yang benar, memperluas bidang pertukaran, dan memperdalam kerja sama," kata Wali Kota Taipei periode 1998-2006 itu.

Dia juga berharap pertemuannya dengan Xi di Singapura nanti menjadi langkah awal dalam melembagakan pertemuan antara dua kepala negara bertetangga tersebut.

"Pertemuan ini akan menandai tiga tonggak bersejarah, pertemuan pertama pemimpin Taiwan dan Tiongkok dalam 66 tahun terakhir yang akan membantu peningkatan hubungan," ujar Ketua Partai Kuomintang itu.

Di lain pihak, tambah Ma, pertemuan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kedewasaan dalam hubungan lintas selat.

"Pertemuan itu meningkatkan kualitas dan kehormatan akan fleksibilitas dan pragmatisme," katanya.

Ma juga menekankan bahwa dalam pertemuan nanti tidak ada kesepakatan yang perlu ditandatangani dan tidak ada kesepakatan bersama yang dideklarasikan. 

Sementara itu pada Jumat Presiden Tiongkok Xi Jinping tiba di Singapura  untuk kunjungan kenegaraan, yang diikuti pertemuan puncak dengan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou pada akhir pekan ini.

Xi akan bertemu dengan Presiden Singapura Tony Tan dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong, setelah itu dijadwalkan bertemu dengan Ma di hotel Shangri-La pada Sabtu.

Pertemuan puncak Xi dan Ma adalah yang pertama bagi kedua negara yang terpisah sejak akhir perang saudara di Tiongkok pada 1949.

"Singapura diminta oleh kedua belah pihak untuk memfasilitasi pertemuan ini." kata Kementerian Luar Negeri Singapura, Rabu.

"Sebagai mitra dekat dengan Tiongkok daratan maupun Taiwan, kami senang bisa membantu menyediakan tempat pertemuan untuk perundingan mereka secara langsung," kata Kementerian Luar Negeri.

"Singapura secara konsisten memegang kebijakan satu Tiongkok dan mendukung pembangunan perdamaian di lintas selat seperti pertemuan bersejarah Wang-Koo di Singapura pada 1993."

Pertemuan Wang-Koo adalah pertemuan antara petinggi Tiongkok Wang Daohan dan pemimpin sektor swasta Taiwan Koo Chen-fu yang didukung mewakili pemerintah pada April 1993.

Perdana Menteri Singapura saat itu Lee Kwan Yew bertindak sebagai pembawa pesan bagi kedua belah pihak sebelum perundingan dilakukan.

Taiwan memandang negaranya sebagai negara demokrasi yang merdeka, meskipun Tiongkok masih menganggapnya sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya yang harus dipersatukan kembali bahkan bila perlu dapat dilakukan dengan paksaan.

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015