Jakarta (ANTARA News) - Departemen Perhubungan (Dephub) ternyata masih memberikan toleransi dan kesempatan kepada 11 maskapai bermasalah karena berhenti operasi dengan sejumlah alasan. "Bukannya mengulur-ulur, tetapi kita paham kondisi saat ini memang lagi sulit. Jadi, kepada mereka masih diberi kesempatan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara M. Iksan Tatang, menjawab pers usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR di Jakarta, Rabu. Menurut Tatang, kondisi sulit itu antara lain terkait dengan rendahnya kepercayaan seiring terjadinya beberapa kecelakaan di Indonesia. Akibatnya, operator agak kesulitan ketika berhubungan dengan pihak luar misalnya ketika mereka hendak menegosiasikan harga sewa pesawat baik lama maupun baru. Dikatakannya juga, hal itu dipengaruhi pemberitaan kecelakaan yang kurang proporsional sehingga dunia internasional melihat kasus-kasus penerbangan di Indonesia tidak imbang bahkan rancu. Kendati begitu, kata Tatang, fenomena ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang kondisinya sama. Ketika didesak dengan pertanyaan kapan toleransi tersebut diberikan, Tatang menjawab. "Sampai mereka mau berbenah dan per kasus. Jadi, tidak pukul rata," katanya. Tatang tidak bersedia menyebutkan operator-operator bermasalah tersebut. "Takutnya nanti melemahkan semangat mereka," kata Tatang. Juru bicara Departemen Perhubungan Bambang Erfan menambahkan, pihaknya memastikan bahwa operator-operator bermasalah itu sudah berusaha. "Sampai dapat izin berarti sudah investasi banyak," ujarnya. Data yang diperoleh ANTARA News sebelumnya menyebutkan, ke-11 operator itu saat ini sedang tidak beroperasi. Mereka adalah PT Bouraq Indonesia (terhitung sejak 25 Juli 2005), PT Indonesia Airlines Avi Patria (tidak jelas karena berhenti dan beroperasi lagi pada periode tertentu dan berhenti lagi, red), PT Bayu Indonesia (17 Februari 2004) dan PT Star Air (3 Oktober 2005). Selain itu, PT Jatayu Gelang Sejahtera (Agustus 2006), PT Asia Avia Megatama (Maret 2004), PT Bali Internasional Air Service (April 2005), PT Seulawah NAD Air (8 April 2003), PT Air Paradise International (23 November 2005), PT Top Sky International (19 Juli 2006), dan PT Efata Papua Airlines (11 Desember 2006). Padahal, sesuai dengan pasal 54 Keputusan Menteri Perhubungan 81/2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, operator yang menghentikan operasi diwajibkan melakukan kegiatan usahanya kembali secara nyata selambat-lambatnya 90 hari kalender setelah berhenti beroperasi. Jika tenggat waktu itu terlewati, dalam pasal 56 diatur bahwa operator akan mendapat peringatan tertulis sebanyak tiga kali berturut-turut dengan selisih waktu satu bulan. Kemudian dilanjutkan dengan pembekuan izin dengan jangka waktu satu bulan dan akan dicabut jika tenggat waktu berakhir dan tidak ada usaha perbaikan. Ketua LSM Peduli Angkutan Udara Indonesia (PAUKI) Eko Roesni Putro sebelumnya, mengatakan, pemerintah seharusnya tegas dan objektif. "Artinya jika operator itu tak layak lagi secara operasional dan aspek keselamatan, ya harus dicabut SIUP dan AOC-nya dan sebaliknya. Supaya wibawa pemerintah ada," kata Eko.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007