Bandung (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) membutuhkan kewenangan sebagai penyidik kasus-kasus tindak pidana perbankan (tipibank) agar penanganan kasus-kasus itu bisa berjalan lebih cepat dan tepat. "Kewenangan itu dibutuhkan BI karena sektor perbankan mempunyai ciri khas sendiri sehingga penanganannya perlu punya background yang baik di segi operasional banking," kata penasehat hukum eksekutif Direktorat Hukum BI Hendrikus Ivo dalam sosialisasi Nota Kesepahaman BI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bandung, Kamis. Saat ini, katanya BI belum memiliki kewenangan sebagai penyidik, misalnya kewenangan pemblokiran rekening, penyitaan dokumen, penggeledahan dan pemeriksaan terhadap pihak lain yang tidak terkait dengan bank namun diduga kuat terlibat dalam tipibank. Kewenangan sebagai penyidik, menurut Ivo merupakan salah satu kendala penanganan tipibank, sedangkan kendala lain yaitu belum adanya kesamaan pandang penggunaan dokumen fotokopi sebagai barang bukti tipibank, dan belum ada kesamaan pandang dalam menetapkan UU/ketentuan yang dilanggar oleh pelaku tipibank. Namun, menurut Ivo, untuk mencapai posisi kewenangan penyidik perlu beberapa tahapan hingga tercantum dalam undang-undang. "Ada prosedur sampai tahapan jadi undang-undang, dan sebelum sampai undang-undang kita kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan untuk sisi tindak pidananya, dan untuk tindak pidana korupsi kita kerjasama dengan KPK, sehingga bisa memberikan pemahaman yang sama dalam pemikiran kita dengan penegak hukum sehingga dalam pelaksanaan penyidikan tidak mengalami hambatan," katanya. Sementara itu, Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara KPK Muhammad Sigit di tempat sama mengatakan, BI sulit mendapatkan kewenangan sebagai penyidik karena BI bukan lembaga penegak hukum. "BI itu bukan aparat penegak hukum oleh karena itu mereka tidak diberikan kewenangan penyidikan dan penyelidikan bahkan PPATK tidak diberikan kewenangan penyidikan, yang punya hanya KPK, Polri dan Kejaksaan," katanya. Oleh karena itu, katanya untuk menangani kasus-kasus tipibank diperlukan kerjasama antara BI dengan lembaga penegak hukum seperti KPK, Polri dan Kejaksaan. Data hasil investigasi Bank Indonesia bekerjasama dengan Kejaksaan Agung dan Polri menyebutkan selama 2006 terdapat indikasi tindak pidana di bidang perbankan 43 kasus pada 33 bank umum dan 91 kasus pada 39 BPR dengan jumlah kerugian seluruhnya sebesar Rp1,209 triliun dan 52 juta dolar AS. Jumlah itu meningkat dibanding data indikasi kerugian tipibank sejak 2004 dan 2005. Tahun 2004 indikasi kerugian mencapai Rp1,253 triliun dan tahun 2005 Rp1,314 triliun. Sementara data Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan BI antara tahun 1999 dan 2006 menyebutkan bahwa 30 persen kejahatan perbankan terjadi di bidang kredit, 17 persen bidang pendanaan seperti BLBI, 17 persen pada rekayasa laporan, 13 persen penyelahgunaan wewenang, 11 persen tidak melakukan pencatatan, 7 persen mark up dan 5 persen penggelapan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007