Jakarta (ANTARA News) - KPK memeriksa Wakil Gubernur Sumatera Utara yang saat ini menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana suap kepada anggota DPRD Sumut 2009-2014 dan 2014-2019.

"Tengku Erry Nuradi diperiksa untuk tersangka GPN (Gatot Pujo Nugroho)," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Rabu.

Erry diketahui sudah hadir di gedung KPK sejak pukul 09.30 WIB tanpa berkomentar kepada wartawan mengenai pemeriksaannya tersebut.

Selain Erry, KPK juga memanggil sejumlah saksi lain dalam kasus ini yaitu Zulkarnain dari swasta, Wakil Ketua DPRD Sumut 2014-2019 Zulkifli Efendi, Angota DPRD Sumut 2010-2014 yang saat ini menjadi dosen Universitas Muslim Nusantara Hardi Mulyono, dan Direktur Administrasi dan Keuangan PDAM Tirnadi Sumut Arif Hariyadian.

KPK menetapkan Gubernur Sumut non-aktif Gatot Pujo Nugroho sebagai pemberi suap sedangkan penerima suap adalah Ketua DPRD Sumut periode 2014-2015 dari fraksi Partai Golkar Ajib Shah, Ketua DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut 2014-2019 dari fraksi Partai Demokrat Saleh Bangun, Wakil ketua DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 dari fraksi Partai Golkar Chaidir Ritonga, Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 dari fraksi PAN Kamaludin Harahap dan Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 dari fraksi PKS Sigit Pramono Asri.

Dalam dakwaan Kamaludin Harahap disebutkan bahwa seluruh anggota DPRD Sumut 2009-2014 menerima uang dari Gatot Pujo Nugroho yang dikumpulkan dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) agar DPRD menyetujui Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumut Tahun Anggaran (TA) 2012, persetujuan terhadap Perubahan APBD Provinsi Sumut TA 2013, persetujuan terhadap APBD Provinsi Sumut TA 2014 dan persetujuan terhadap APBD Provinsi Sumut TA 2015.

Nilai total suap pun mencapai lebih dari Rp11 miliar.

KPK menyangkakan Gatot dengan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sedangkan Ajib, Saleh, Chaidir, Kamaludin dan Sigit dijerat dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016