Titik berat UU ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan fokus utama Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) adalah mencegah terjadinya krisis keuangan dengan menangani permasalahan bank sistemik.

"Titik berat UU ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan," kata Menkeu menanggapi keputusan Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU PPKSK menjadi UU di Jakarta, Kamis.

Rapat Paripurna menyetujui RUU PPKSK menjadi UU yang terdiri atas delapan bab dan 55 pasal yang isinya mencakup pemantauan dan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan dan penanganan permasalahan bank sistemik dalam kondisi normal maupun krisis.

Menkeu menjelaskan pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik menjadi penting karena bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran serta tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung ke perekonomian.

"Selain itu, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola sektor perbankan, khususnya bank sistemik. Untuk itu perlu dijaga keberlangsungan fungsi dan layanan utama bank dari kemungkinan kegagalan," tambahnya.

Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan dan penanganan permasalahan sistem keuangan juga dilakukan terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan.

Menkeu juga menyampaikan beberapa isu utama yang telah disepakati dalam pembahasan UU PPKSK, diantaranya penguatan peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam mencegah dan menangani krisis sistem keuangan.

KSSK yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan harus bersama-sama melakukan koordinasi yang reguler dan intensif, untuk memantau, memelihara dan menangani kondisi krisis sistem keuangan.

Kemudian, mendorong upaya pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan, khususnya bank yang ditetapkan menjadi bank sistemik. Penetapan daftar bank sistemik ini dilakukan paling lambat tiga bulan sejak diundangkannya peraturan hukum ini.

Selain itu, mengedepankan konsep "bail-in" yaitu penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank menggunakan sumber daya internal antara lain pemegang saham dan kreditur bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank serta kontribusi industri perbankan.

"Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi "Financial Stability Board" dan menjadi praktik yang lazim diterapkan di negara G20, sehingga diharapkan masalah penanganan bank tidak membebani keuangan negara," jelas Menkeu.

UU ini juga menjamin adanya penanganan masalah likuiditas dan solvabilitas bank yang lebih lengkap, dengan mekanisme pemberian pinjaman jangka pendek kepada LPS hingga pengalihan sebagian atau seluruh aset bank (bermasalah) kepada bank lain atau bank baru.

Terakhir, Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memegang kendali penuh dalam penanganan krisis sistem keuangan, serta mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi KSSK dan memutuskan program restrukturisasi perbankan.

Secara keseluruhan, Menkeu mengharapkan regulasi ini bisa menjadi landasan hukum dalam menjaga stabilitas sistem keuangan agar lebih efektif dan efisien dalam menghadapi tantangan ekonomi domestik maupun global yang makin beragam.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016