Jakarta (ANTARA News) - Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi mendorong adopsi teknologi netral di frekuensi 450 Mhz guna meningkatkan kecepatan penetrasi broadband.

Menurut I Ketut Prihadi di Jakarta, Selasa, saat ini untuk spektrum frekuensi 800 Mhz, 1.800 Mhz, 2.100 Mhz dan 2.300 Mhz sudah mengadopsi teknologi netral, yang membebaskan operator dalam penggunaan teknologi di spektrum tersebut.

"Tinggal satu yang belum, yang belum adalah 450 Mhz," katanya.

I Ketut Prihadi mengatakan, spektrum frekuensi 450 Mhz memiliki karakteristik khusus yang dapat mendorong percepatan penetrasi broadband terutama di daerah pinggiran dan pedalaman.

Hal ini karena jangkauan dari spektrum frekuensi 450 Mhz lebih luas dibandingkan frekuensi di atasnya. Satu BTS di spektrum 450 MHz bisa menjangkau 30-40 km.

Untuk itu, menurut dia, pihaknya kini tengah merancang peraturan menteri (RPM) terkait dengan penerapan teknologi netral, sehingga nantinya dapat menjadi pegangan dalam pelaksanaan di lapangan.

Dengan penerapan teknologi netral pada 450 Mhz, operator dapat menggunakan teknologi yang tepat agar dapat berkembang. Selain itu juga menjamin kesetaraan terhadap seluruh operator yang ada.

Sementara itu, pemanfaatan frekuensi 450 MHz untuk penetrasi broadband saat ini tidak bisa maksimal. Spektrum 450 Mhz, dihuni oleh operator Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) yang memiliki lebar pita 7,5 MHz.

STI dengan produknya ceria mengoperasikan layanannya dengan menggunakan teknologi CDMA yang telah banyak ditinggalkan oleh operator lainnya.

Meski STI telah meminta izin untuk mengubah teknologi yang digunakan, menurut I Ketut, saat ini hal itu belum dapat dilaksanakan, karena aturan menteri yang kini masih dirancang.

Aturan menteri tersebut dibutuhkan untuk menata agar peralihan teknologi tersebut tidak mengganggu pengguna lainnya.

"Di sini lebih ke arah penataan sebenarnya, sebelum pemerintah menetapkan batasan-batasan teknis tadi, kalau ternyata langsung gunakan tanpa batasan teknis nanti bisa disebut interference tadi mengangggu yang lain," katanya.

Pewarta: Muhammad Arief Iskandar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016