Jakarta (ANTARA News) - Terungkapnya jaringan teroris yang telah merasuk ke masyarakat tingkat bawah atau "akar rumput" dengan memanfaatkan rakyat jelata seperti kaum petani, mengindikasikan pengaruh pengawasan aparat keamanan belum menyentuh hingga ke tataran paling bawah. "Gerakan teroris itu telah merasuk ke akar rumput, itu jelas dengan kasus di Yogya dan beberapa kawasan di Jawa Tengah, pekan lalu. Dari terungkapnya kasus itu, terlihat petani yang polos, lugu dan tulus pun dipakai atau diperalat untuk tujuan-tujuan kerusuhan serta terror," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Damai Sejahtera (PDS), Denny Tewu, di Jakarta, Senin. Dia menyatakan hal itu menanggapi instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Kapolri Jenderal Polisi Sutanto agar segera bertindak lebih maksimal untuk mengamankan negara dan rakyat dari gangguan berbagai teror, termasuk aneka kejahatan lainnya. Realitas di lapangan tersebut, lanjut Denny, dengan jelas mengindikasikan pengaruh pengawasan aparat keamanan belum menyentuh sampai dengan akar rumput. "Dan ini akan menjadi celah untuk aktivitas terorisme yang masih terus melebarkan sayapnya melalui jaringan rakyat paling bawah yang tidak terawasi," katanya mengingatkan. Ia mengacu kepada pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Hendropriyono, yang dimuat berbagai media nasional, pekan lalu, bahwa jaringan para teroris itu berpusat di Jateng, terutama di basis-basis DI TII dulu. Malahan, ada indikasi, para teroris itu yang salah satu tempat penampungan bom serta amunisi mereka berhasil dibongkar petugas, kini menyiapkan aksi "Bom Bali III". Kondisi seperti ini, menurut Denny, akan sangat mempengaruhi stabilitas negara, otomatis memberi gangguan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di segala bisang demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Jadi, saya kira wajar saja dan bahkan sudah seharusnya bila Presiden menginstruksikan Kapolri agar lebih tanggap dalam memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya. Tetapi sesungguhnya tanpa instruksi begini, aparat mestinya harus terus bergerak. Mereka kan dibayar negara untuk itu," tandasnya. Membiarkan situasi negara menjadi tidak aman untuk ditinggali, dan rakyat yang terus hidup dalam ancaman, tambahnya, jelas bakal menjadikan bangsa ini semakin terpuruk. "Atau, memang ada yang sengaja membuat Indonesia tidak maju-maju, selalu berurusan dengan teror, penyebaran beragam virus, pemerintahan yang kurang kuat, dan seterusnya. Ini perlu kita renungkan bersama," tuturnya. Tak berdasarkan perintah semata Sebelumnya, kalangan anggota Komisi I DPR menilai, Polri sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban termasuk dalam hal mencegah gerakan aksi teroris, mestinya tidak bekerja berdasarkan perintah semata. Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan hal itu, menanggapi instruksi Presiden Yudhoyono kepada Kapolri untuk meningkatkan gerakan penangkalan, pencegahan serta pemberantasan berbagai kejahatan, terutama terorisme. "Pernyataan (Presiden) tersebut juga normatif. Artinya, tanpa harus ada perintah seperti itu, mestinya gerakan pengamanan dan penertiban harus terus berlangsung secara maksimal, demi memberi kenyamanan serta ketenteraman kepada semua warga," katanya. Mantan aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) tahun 1998 ini lanjut mengatakan masalah keamanan dan ketertiban (kamtib) dan penanganan terorisme sudah menjadi tanggung jawab Polri. "Jadi, tidak perlu perintah Presiden," tegasnya. Secara terpisah, rekannya dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas H Pareira, menegaskan program deradikalisasi yang telah dicanangkan pemerintah sudah mendesak diaplikasikan, guna menangkal berbagai aksi terorisme di tanah air. "Kita tidak bisa teledor lagi. Saat ini rakyat masih merasa belum aman hidup di negerinya sendiri karena soal terror bom aksi rusuh lainnya yang sewaktu-waktu bisa muncul di mana-mana," katanya. Karena itu, instruksi Presiden kepada pihak kepolisian, mestinya tak hanya dijawab dengan langkah-langkah konvensional semata, tetapi juga harus ada upaya tambahan, termasuk program deradikalisasi tersebut. (*)

Copyright © ANTARA 2007