Seluruh perusahaan di pasar negara berkembang harus memberi laporan menyeluruh untuk masyarakat demi mengantisipasi korupsi dan menyediakan transparansi sebagai dasar pengelolaan bisnis yang kuat dan akuntabel."
London (ANTARA News) - Perusahaan multinasional di sejumlah negara berkembang gagal mengatasi korupsi dengan ketiadaan keterbukaan menyebabkan kejahatan itu berlanjut dan memperburuk kemiskinan, kata kajian kelompok antikorupsi pada Senin.

Laporan lembaga swadaya masyarakat Transparency International (TI) menemukan tiga perempat dari 100 perusahaan dengan pertumbuhan cepat di 15 negara berkembang serta giat di 185 negara mendapatkan nilai kurang dari setengah angka tertinggi dalam uji keterbukaan, lapor Reuters.

Jos Ugaz, kepala TI, mengatakan, konsumen harus mendesak perusahaan tersebut meningkatkan baku antikorupsi-nya atau berhenti membeli produk mereka.

Perusahaan perlu meningkatkan keterbukaannya, bahkan pemerintah harus memiliki aturan tegas anti-penyuapan, tambahnya.

"Tingkat keterbukaan cukup menyedihkan dari perusahaan besar di pasar negara berkembang memunculkan pertanyaan, berapa banyak perusahaan swasta peduli menghentikan korupsi dan memberantas kemiskinan, karena mereka punya usaha untuk mengurangi kesenjangan," kata Ugaz.

Kajian itu menunjukkan perusahaan China memiliki nilai terburuk dengan rata-rata poin 1,6 dari 10, akibat lemah atau kurangnya kebijakan serta prosedur antikorupsi.

Sebaliknya, India mengantongi skor tertinggi dalam uji keterbukaan.

Sekitar 75 persen dari 19 perusahaan dinilai terbuka terhadap struktur perusahaan dan kepemilikan aset, mengingat hal itu telah diatur dalam Undang-undang Perusahaan negara tersebut.

Dengan merujuk keterangan Dana Moneter Internasional (IMF), pasar di negara berkembang memiliki iuran atas 70 persen pertumbuhan perekonomian dunia.

Korupsi dianggap menghambat dan membatasi pertumbuhan di bidang sosial dan ekonomi.

Laporan itu dilansir seusai bocoran dokumen pajak "Panama Papers" menunjukkan sejumlah perusahaan cangkang dan negara suaka pajak seringkali dimanfaatkan untuk ulah jahat, seperti, pencucian uang dan penghindaran pajak.

Masalah kerahasiaan perusahaan dan penghindaran pajak kemudian menjadi agenda utama, yang disoroti dunia.

Penelitian TI menerangkan tiga langkah bagi perusahaan untuk menanggulangi korupsi.

Gerakan yang dapat dilakukan ialah pembuatan program antikorupsi, misalnya kebijakan pelarangan aksi suap atau "pembayaran atas fasilitas", ditambah, aksi pengungkapan struktur perusahaan dan kepemilikan aset beserta informasi finansial penting seperti pembayaran pajak di tiap negara operasionalnya.

Peneliti TI mengatakan, informasi itu dikumpulkan dari laman perusahaan dan sumber publik lain yang tersedia.

Rata-rata perusahaan mampu meraih nilai 3,4 dari 10, artinya, ada penurunan sebanyak 0,2 poin dari survei serupa pada 2013.

Tim periset mengatakan, penjelasan tunggal dari hasil buruk itu mungkin disebabkan persyaratan hukum yang lebih ketat.

Namun, nilai itu juga lebih rendah dari skor rata-rata 3,8 dalam survei TI pada 2014, melibatkan 124 perusahaan multinasional besar dunia.

"Seluruh perusahaan di pasar negara berkembang harus memberi laporan menyeluruh untuk masyarakat demi mengantisipasi korupsi dan menyediakan transparansi sebagai dasar pengelolaan bisnis yang kuat dan akuntabel," kata kelompok itu dalam laporannya.
(Uu.KR-GNT/B002)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016