Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi II DPR, Priyo Budi Santoso, menyatakan Inu Kencana selaku dosen senior di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) patut mendapat penghargaan dari negara, karena berani mengungkap misteri kekerasan di kampus tersebut selama ini. "Tadi siang, saya bersama Ketua DPR Agung Laksono, telah berbicara banyak dengan Pak Inu Kencana. Kesimpulan kami, Inu Kencana ini patut diberi penghargaan oleh negara atas keberanian dan ketulusannya, sehingga bisa mengungkap misteri yang menyelimuti IPDN selama ini," tandas Priyo Budi Santoso, di Jakarta, Rabu malam. Menyusul penonaktifan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Nyoman Sumaryadi, kalangan Komisi II DPR mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan yang sama terhadap semua pejabat di lingkup kampus tersebut. "Sambil menunggu proses investigasi oleh beberapa pihak (Polri, Depdagri dan Tim Pemprov Sulut), jangan hanya rektor, tetapi pejabat teras IPDN lainnya juga kami minta dinonaktifkan," tambahnya. Selain penonaktifan sejumlah pimpinan teras selama proses investigasi, Priyo Budi Santoso juga mengungkapkan anggaran Rp150,8 miliar yang kemarin disetujui DPR rencananya dibekukan dulu, sampai ada kejelasan. Jangan Ditutup Sebelumnya, meski terus menyuarakan keboborokan dan kekejaman di IPDN tempatnya mengajar, Inu Kencana Syafei ternyata tidak setuju lembaga pendidikan itu dibubarkan. "Jangan karena kebencian pada tikus lalu membakar lumbungnya, karena tikusnya akan lari ke mana-mana dan bisa bikin rusak di mana-mana pula. Misalnya, korupsi di mana-mana," kata Inu Kencana di ruang pers DPR usai dia dipanggil pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR . Ketidaksetujuannya itu, kata dia, bukan karena dirinya takut kehilangan pekerjaan sebagai pengajar. "Saya masih punya banyak teman yang menawari untuk kerja di berbagai tempat. Tapi ingat, saya tidak mencari jabatan, kekayaan, popularitas. Tetapi yang saya cari adalah kejujuran, kebenaran dan keadilan," katanya dengan penuh semangat. Karena itu, lanjut Inu, sekarang bagaimana ada upaya keras untuk mengejar tikus-tikus di IPDN itu. "Saya punya datanya," kata Inu tegas. Tetap Miskin Sosok dosen yang sampai saat ini mengaku tidak punya rumah, mobil, dan tanah itu juga mengemukakan dia akan tetap menolak bila ada pejabat yang membawa uang agar anaknya diterima di lembaga pendidikannya. "Buat saya, kemiskinan saya sudah lengkap. Tetapi tak masalah. Itu bagian dari pengabdian. Saya melihat juga ada kawan yang baru kerja di IPDN setahun, ternyata bisa beli rumah hampir satu miliar. Tapi itu pun tidak masalah. Saya tidak iri," tukasnya dengan nada berapi-api.. Inu Kencana kemudian berubah semakin "galak", ketika menjelaskan tentang tudingan mengenai dirinya yang mengatakan karena dirinya sudah diberi tempat tinggal di IPDN dan digaji, maka dirinya harus diam saja. "Tidak bisa itu. Karena saya diberi fasilitas dan gaji itu, lalu saya diam. Itu tidak bisa. Saya sama sekali tidak bisa diam ketika mendengar dan melihat kebobrokan di depan mata saya," tandasnya. Inu Kencana juga menjelaskan tentang pertanyaan berbagai pihak tentang adanya ancaman selama membongkar kebobrokan di IPDN, khususnya untuk kasus kekerasan terakhir oleh belasan praja senior yang berakibat tewasnya praja madya asal Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Cliff Muntu, 20, Senin awal pekan lalu. Dengan sedikit bercanda, Inu Kencana kemudian menunjukkan pesawat telepon selulernya dengan menguraikan sedikit manfaatnya. "Ini tidak karena HP saya yang nomornya sudah diketahui banyak orang telah hilang. Yang jelas, HP ini baru dan yang tahu (nomornya) cuma wartawan. Jadi jelas tak ada yang terror," kilahnya. Inu menambahkan kalaupun diteror, maka dirinya juga tidak takut, karena selain peneror itu, ada juga pendukungnya. "Banyak ada yang di mesjid, pesantren, bahkan gereja dan vihara menyampaikan dukungan kepada saya. Memang kalau di IPDN paling yang dukung hanya 10 persen," katanya sambil tertawa agak ngakak. Korban Kekerasan Dia juga mengungkapkan meskipun bisa berhubungan langsung dengan juru bicara Presiden Andi Malaranggeng, dirinya tidak menganggapnya sebagai backing. "Kalau saya sampaikan ke Pak Andi, tentu bisa sampai juga ke Presiden. Tapi saya tidak pernah berpikir itu backingan saya, karena backingan saya adalah Tuhan, dan saya tidak takut mati demi kebenaran. Tegakkan kebenaran meskipun itu pahit," kata Inu Kencana dengan suara lantang, tetapi kemudian diikuti isakan sedikit, selang beberapa sesenggukan. Tentang data yang disebut berbeda dengan IPDN maupun Departemen Dalam Negeri (Depadgri), Inu menjamin data miliknya valid. Dia juga menyebutkan data di IPDN itu ada yang dihilangkan. Atau, ada beberapa nama praja yang meninggal tidak diotopsi sekalipun mencurigakan. "Setelah Wahyu Hidayat, ada Winfred Rubi dan Irwan Hebo yang meninggal. Dan baru Cliff Muntu ini otentik, karena saya (anggota) Senat," ungkapnya. Secara keseluruhan, menurut Inu, datanya selama 14 tahun ada padanya, yakni dari 35 praja yang meninggal, 18 di antaranya karena kekerasan. "Kalau ada yang beda, itu karena Fachrudin, Gatot dan Edi tidak divisum dengan berbagai alasan. Padahal saya melihat di depan mata saya, di dadanya biru, tapi saya tak punya kekuatan (ketika itu)," tambahnya. (*)

Copyright © ANTARA 2007