Jakarta (ANTARA News) - Agama dan kebudayaan sejak lama menjadi cara orang Indonesia untuk bertahan hidup, demikian Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengawali Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, Kamis (10/9) malam.

“Seperti gula dan kopi yang saling melengkapi dalam secangkir kopi tubruk,” kata Lukman dalam pidato “Kedewasaan Beragama dan Masalah-Masalah Kebudayaan Masa Kini” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Agama dapat berkembang di Indonesia karena masyarakatnya yang bersifat terbuka, serta mudah diterima karena merekatkan solidaritas. 

Agama pun mewujud dalam kehidupan berbangsa, nilai-nilainya menjadi ruh  dalam konstitusi dan menjadi bagian dalam peraturan perundangan, termasuk undang-undang tentang Pilkada.

Kompleksitas budaya, termasuk di dalamnya aspek ekonomi, politik maupun sosial sangat berpengaruh terhadap mengekspresikan agama. Lukman menilai, itu lah mengapa wajah keberagamaan bisa berbeda di setiap tempat sesuai dengan kondisi yang ada.

“Bila ada anggapan budaya dan agama sulit diakurkan, maka Indonesia menepisnya. Agama dan budaya adalah sejoli yang saling melengkapi. Jika hilang satu, tamatlah keharmonisan Indonesia,” kata Lukman.

Lukman menyoroti kondisi Tanah Air yang beberapa waktu belakangan dilanda konflik yang mengangkat isu agama.

Padahal, pemicu utama konflik bukan berakar dari agama. Agama dijadikan justifikasi oleh pihak yang berkonflik.

Pertanyaan besar bagi Indonesia saat ini adalah, “mau ke mana Indonesia?”, quo vadis Indonesia. 

Kemajuan teknologi secara tidak disadari menggerus interaksi sosial, yang menurut Lukman, adalah alat untuk meredam benturan agama.

Indonesia bisa dikatakan merespon lambat kemajuan zaman, terbiasa minim informasi sehingga terkaget ketika dihujani “air bah informasi”.  

Akibatnya, masyarakat mengalami gegar budaya ketika berhadapan dengan kelompok yang berbeda.

Menyikapi masalah tersebut, Lukman menilai perlu melalui pendekatan cara lama, menekankan pentingnya arti persatuan dan kesatuan.

“NKRI adalah harga mati dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi denyut nadi.”

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mendapat applaus sangat meriah dari penonton untuk pidatonya yang segar dan penuh muatan budaya.

Di sela-sela pidatonya yang berdurasi lebih dari 30 menit, Lukman menyisipkan lelucon yang jamak beredar di kalangan masyarakat digital, mulai dari kutipan cuitan selebritis hingga menjadikan foto Dimas Kanjeng sebagai latar visual pidatonya.

Pendidikan
Bila Menteri Agama Lukman Hakim bermain di ranah budaya dan agama, astrofisikawan ITB Premana W Premadi, memilih pendidikan menjadi sorotan utama dalam pidato budayanya.

Masalah besar di Tanah Air merupakan akumulasi dari problem pendidikan yang selama ini melanda Tanah Air.

“Pendidikan yang menjadikan ‘quo vadis Indonesia?’”

Pembelajaran tidak hanya terjadi di insitusi formal pendidikan seperti di sekolah, namun juga di tempat kerja sehingga penting bila pekerjaan menstimulasi pikiran.

Bicara pendidikan, tidak luput dari kurikulum.

“Kurikulum saat ini kata kunci bukan lagi survival (bertahan hidup) tapi, sustainability (keberlangsungan),” kata pengajar di Departemen Astronomi, Fakultas Matematika dan IPA ini.

Kurikulum yang tepat untuk menjawab tantangan zaman adalah menyiapkan seseorang untuk menghadapi masa depan, tidak hanya untuk bertahan hidup tapi juga agar ia mampu mengembangkan diri.

Keteladanan, kata Premana, adalah pendidikan yang terbaik.

Sejak 1989
Pidato Kebudayaan merupakan agenda tahunan Dewan Kesenian Jakarta yang menghadirkan pembicara terpilih untuk menyegarkan pikiran terhadap isu kehidupan berbangsa.

Pidato Kebudayaan pertama kali diadakan pada 1989, menampilkan budayawan Umar Kayam dengan topik “Pembebasan Budaya-Budaya Kita”.

Agenda tahunan tersebut terus berlanjut, tidak hanya menghadirkan sosok yang berasal dari kalangan budaya, namun lintas disiplin.

BJ Habibie pernah berbicara di forum ini pada 1993, mengangkat tema “Kebudayaan, Teknologi dan Masa Depan Kita”, begitu juga Amien Rais pada 1998 dengan “Kebudayaan dan Kekuasaan”.

Pidato Kebudayaan disegarkan kembali pada 2013 menambahkan nama “Suara Jernih Dari Cikini”.

Karina Supelli, Hilmar Farid dan Nirwan A Arsuka adalah para pembicara yang tampil pada 2013-2015.

Tahun ini, untuk pertama kalinya Suara Jernih Dari Cikini menghadirkan dua pembicara yang berbeda latar belakang.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016