Majelis hakim semestinya mempertimbangkan untuk mengabulkan dan menerima eksepsi terdakwa. Alasan hukum yang disampaikan terdakwa melalui kuasa hukumnya cukup beralasan dan patut dipertimbangkan."
Jakarta (ANTARA News) - Praktisi hukum dari UIN Jakarta Andi Syafrani mengatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara seharusnya mempertimbangkan atau menerima nota keberatan (eksepsi) yang diajukan terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Majelis hakim semestinya mempertimbangkan untuk mengabulkan dan menerima eksepsi terdakwa. Alasan hukum yang disampaikan terdakwa melalui kuasa hukumnya cukup beralasan dan patut dipertimbangkan," kata Andi melalui keterangan tertulisnya yang diterima Antara di Jakarta, Senin.

Andi menilai kasus hukum yang menjerat petahana calon gubernur DKI Jakarta tersebut bukanlah masalah hukum dan proses peradilannya berdasarkan tekanan massa.

Menurut dia, jika Ahok melakukan tindakan seperti didakwakan penuntut umum, maka seharusnya masyarakat Kepulauan Seribu yang melaporkan ke polisi pada 27 September 2016, tepat setelah Ahok melontarkan pidato yang dinilai menghina agama Islam dengan menyinggung surat Al Maidah ayat 51 saat kunjungan kerjanya itu.

Namun, kenyataannya laporan baru dibuat sembilan hari kemudian, setelah 14 saksi pelapor mengunggah video dari youtube yang diragukan keasliannya.

"Tekanan oleh massa terhadap aparat penegak hukum terjadi pada 4 November 2016 dalam sebuah aksi di Jakarta, di mana massa menuntut aparat penegak hukum menetapkan Ahok sebagai tersangka," ujar Andi.

Proses peradilan Ahok masih berjalan dan sidang selanjutnya pada Selasa (20/12) beragendakan tanggapan dari jaksa penuntut umum atas eksepsi dari terdakwa Ahok dan tim kuasa hukumnya.

Dalam pembacaan dakwaan pada sidang sebelumnya, jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif Pasal 156a KUHP atau Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama.

Sidang selanjutnya akan digelar pada Selasa (20/12) di lokasi yang sama, PN Jakarta Utara di Jalan Gajah Mada No.17 Jakarta Pusat (bekas gedung PN Jakarta Pusat).

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016