Jakarta, 2 Mei 2007 (ANTARA) - Minggu pagi, tanggal 26 Desember, 2004, gempa bumi yang berpusat di Samudera Hindia dengan kekuatan antara 9,1 - 9,3 pada Skala Richter, telah memicu serangkaian tsunami yang dahsyat, menyebabkan bencana paling mematikan dalam sejarah modern. Dampak bencana paling kuat dirasakan di Aceh, di mana lebih dari 168.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal. Kondisi ini memunculkan keprihatinan seluruh umat manusia di dunia. Mereka bersimpati dan bahu-membahu membantu menolong korban bencana di Aceh. Namun, kendala yang mereka hadapi saat itu salah satunya adalah melakukan evakuasi, identifikasi dan inventarisasi daerah-daerah yang terkena dampak bencana. Peta panduan mereka saat itu adalah hasil pemetaan tahun 1979, pada skala 1 sentimeter di peta sebanding dengan setengah kilometer di lapangan. BAKOSURTANAL, sebagai lembaga yang bertangung jawab di bidang survei dan pemetaan, menyediakan Peta Rupabumi (cetakan) skala 1:50.000 tahun 1979 dan Peta Radar (cetakan) skala 1:50.000 1988 untuk wilayah Aceh. Sedangkan untuk Pulau Simeuleue dan Kepulauan Nias tersedia Peta Radar (cetakan) skala 1:50.000 tahun 1979. Ini merupakan tantangan, karena wilayah Aceh - sama seperti wilayah lainnya di Indonesia - tidak mudah dipetakan. Selain sering tertutup awan, konflik yang terjadi pada waktu itu tidak memungkinkan untuk dilakukan survei. Dalam membantu Indonesia menjawab tantangan ini, Australia melalui Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (AIPRD), melakukan pemetaan terhadap wilayah-wilayah yang terkena dampak tsunami, terutama di pesisir Aceh seluas 14.832,3 km persegi. Daerah yang dipetakan antara lain pesisir barat Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga; pantai timur Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa; sebagian Aceh Besar; seluruh Pulau We dan pulau-pulau sekitarnya, Pulau Simeuleue dan Pulau Nias. Pekerjaan yang telah disepakati antara BAKOSURTANAL dan AusAID tersebut, terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dilakukan perolehan data (data acquisition) dan tahap kedua pemetaan (mapping). Tahap pertama yang dilakukan sejak bulan Februari 2006 lalu telah selesai dikerjakan, dan hasilnya akan diserahkan kepada BAKOSURTANAL pada hari Kamis, 3 Mei 2007. Data yang akan diserahkan ke BAKOSURTANAL berupa data model ketinggian permukaan secara dijital (Digital Elevation Model - DEM) dan ORI, serta Peta Citra Quickbird dan Ikonos yang telah direktifikasi (dikoreksi sesuai dengan koordinat geografis). Sedangkan untuk tahap kedua sedang dikerjakan, saat ini dalam tahap pelelangan. Pemetaan dengan teknologi IFSAR (Interferometric Synthetic Apperture Radar) ini akan menghasilkan peta dengan skala 1:10.000 dan 1:5.000, yang termasuk skala detil, di mana 1 sentimeter di peta setara dengan 50 meter di lapangan. Peta detil ini sangat diperlukan untuk rekonstruksi dan pembangunan Aceh, terutama untuk penataan ruang dan bangunan. Aceh kini dalam peta baru. Masa depan Aceh adalah tata ruang peduli lingkungan, tanggap serta tahan terhadap bencana. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Dr., Ir., Poentodewo SSO., M.Surv.Sc (Kepala Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang) HP. +62 816751804

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2007