Tindakan itu dibayar oleh Wali Kota Rody Duterte."
Manila (ANTARA News) - Polisi pernah melakukan pembunuhan di kota Davao atas perintah Wali Kota Rodrigo Duterte, yang saat ini Presiden Filipina, demikian pengakuan seorang mantan polisi anggota dari "Satuan Maut Davao" untuk memberantas kejahatan.

Arturo Lascanas, pensiunan polisi Davao, pada Senin menuturkan bahwa dirinya membunuh penyiar radio, yang mengritik Duterte, atas perintah sopir dan ajudan wali kota itu.

Kemudian, Duterte memberikan uang kepada polisi pelaku pembunuhan tersebut.

Duterte berulang kali menyanggah tuduhan terlibat dalam tindakan main hakim sendiri, termasuk saat menjabat Presiden Filipina atau selama 22 tahun menjabat Wali Kota Davao hingga akhir 2015.

Dalam sejumlah pernyataan, Duterte dan polisi menolak pernyataan terhadap keberadaan pasukan maut di Davao itu, dan menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah rekaan semata.

"Semua pembunuhan kami lakukan di Kota Davao, baik kami kubur maupun kami buang ke laut. Tindakan itu dibayar oleh Wali Kota Rody Duterte," kata mantan polisi itu dalam jumpa pers di Gedung Senat Filipina di Manila.

Ia pun menimpali, ""Paling sering 20 ribu peso, tapi kadang-kadang 50 ribu peso, tergantung status target. Kadang-kadang juga 100 ribu peso," katanya.

Sekretaris Komunikasi Kepresidenan Martin Ardanar dalam wawancara dengan CNN Filipina menggambarkan sebagian dari pengakuan Lascanas itu sebagai drama politik yang berkepanjangan, dan diarahkan para pengritik sebagai pembunuhan karakter terhadap Duterte sebagai dalang kejahatan.

Pernyataan Lascanas berbeda dengan yang pernah disampaikannya dalam dengar pendapat dengan Senat pada bulan Oktober 2016 atas tuduhan pembunuhan pelaku penyalahgunaan narkoba yang tidak berdasarkan hukum.

Pada saat itu, Lascanas menyanggah adanya pasukan berani mati di Davao.

Pernyataannya pada Senin itu mirip dengan pengakuan diri seorang pembunuh bayaran Edgar Matobato yang memberikan kesaksian sebelum dengar pendapat di Senat pada bulan September 2016.

Matobato mengungkapkan, secara pribadi menyaksikan Duterte menembak mati seorang pria dan memerintahkan pihak kepolisian untuk membunuh para tersangka pelaku kejahatan.

Kelompok pemerhati hak asasi manusia (HAM) mendokumentasikan sekira 1.400 dugaan pembunuhan di Kota Davao sejak awal era 1990-an, dan para pengamat menyatakan bahwa peperangan berdarah terhadap narkoba yang dilancarkan oleh Duterte sejak menjabat Presiden Filipina pada tujuh bulan lalu memicu berulangnya metode serupa.

Aktivis HAM itu menyatakan bahwa lebih dari 7.700 orang tewas dalam operasi antinarkoba di pelosok negeri itu, dan sekira2.500 tewas dalam baku tembak dengan polisi selama penggerebekan yang dianggap kontroversial melibatkan Duterte.

Beberapa sisanya, menurut mereka, tewas dalam proses penyelidikan dan dikaitkan dengan pembunuhan main hakim sendiri oleh pihak berwajib, geng narkotika yang melindungi jejaknya, dan pembunuhan lainnya yang tidak terkait operasi itu.

Beberapa pegiat HAM juga menyebutkan bahwa yang lain tewas di luar jalur hukum.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017