Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider kurungan enam bulan kepada mantan Ketua Kelompok Fraksi Partai Amanat Nasional di Komisi V DPR Andi Taufan Tiro karena terbukti menerima suap Rp7,4 miliar terkait program dana aspirasi proyek pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Mengadili, menyatakan terdakwa Andi Taufan Tiro terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pertama," kata ketua majelis hakim Fazhal Hendri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.

Vonis hakim lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, yang meminta hakim menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Selain menjatuhkan hukuman penjara dan denda, hakim juga mencabut hak politik Andi Taufan sampai lima tahun setelah menyelesaikan hukuman pidananya. Dengan demikian selama kurun waktu itu dia tidak berhak dipilih menempati jabatan publik.

Pencabutan hak politik itu dikarenakan Andi Taufan telah menggunakan uang yang ia dapat dari APBN untuk kepentingan dirinya sendiri.


Baca juga: (Politisi PAN dituntut 13 tahun penjara)


Fashal mengatakan hakim memutuskan mencabut hak politik Andi Taufan karena dia mengkoordinasi anggota Komisi V dari PAN dan menyalahgunakan jabatan dengan menggunakan dana program aspirasi Maluku sebesar Rp170 miliar kemudian menerima uang dari Abdul Khoir dan Hengky Poliesar sebesar Rp7,4 miliar untuk biaya umrah dan operasional.

"Hakim sependapat dengan jaksa penuntut umum bahwa tindakan itu merusak sendi demokrasi dan good governance principles sehingga jika biaya politik yang digunakan terdakwa berasal dari hasil kejahatan maka output-nya tidak akan sejalan dengan tujuan bernegara, sehingga perlu kiranya mencabut hak terdakwa untuk dipilih atau menduduki dalam jabatan publik," tambah hakim Fashal.

Namun hakim juga mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan Andi Taufan, yakni bahwa dia sudah mengembalikan uang Rp500 juta ke KPK, belum pernah dihukum dan bersikap sopan di persidangan.

Hal-hal yang memberatkan, menurut hakim, terdakwa antara lain tidak mendukung program pemerintah dalam menjalankan pemerintahan yang bebas korupsi, menikmati uang korupsi untuk kepentingan pribadi yaitu liburan ke luar negeri dan kegiatan politiknya.

Majelis hakim menilai Andi Taufan terbukti menerima Rp3,9 miliar dan 257.661 dolar Singapura atau setara Rp2,5 miliar dari Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama dan 101.807 dolar Singapura atau setara Rp1 miliar dari Hengky Poliesar selaku Direktur Utama PT Martha Tehnik Tunggal sehingga totalnya Rp7,4 miliar.

Uang tersebut digunakan Andi untuk berlibur ke Eropa, membayar paket umrah dan membiayai operasional kegiatan politiknya.

Para penyuap memberi Andi Taufan uang supaya dia menyalurkan program aspirasinya dalam proyek pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara senilai Rp170 miliar serta mengarahkan Abdul Khoir dan Henky Polesar sebagai pelaksana proyek itu.

Abdul Khoir disepakati mendapat jatah proyek Peningkatan Ruang Jalan Wayabula-Sofi senilai Rp60 miliar dengan bayaran untuk Andi Taufan sebesar tujuh persen atau Rp4,2 miliar, yang diberikan melalui tenaga ahli anggota Komisi V dari fraksi PAN yaitu Yasti Soepredjo Mokoagow, dan proyek Pembangunan Ruas Jalan Wayabula-Sofi senilai Rp40 miliar dengan bayaran tujuh persen yaitu Rp2,8 miliar yang diberikan melalui Imran S Djumadil.

Sedangkan Hengky Poliesar mengerjakan pembangunan jalan Kontainer Ruas Jailolo-Mutui dan bila ingin proyek itu harus memberikan komisi sejumlah Rp1,1 miliar kepada Andi Taufan. Henky menyetujui permintaan itu.

Terhadap putusan itu, Andi Taufan menyatakan pikir-pikir. Jaksa penuntut umum juga demikian.

Seusai sidang, Andi mengatakan bahwa putusan hakim tidak adil, menuduh hakim tidak memperhatikan fakta persidangan. Namun ia tidak mempermasalahkan pencabutan hak politiknya.

"Saya tidak mengurus politik. Masalah politik bagi saya sudahlah hidup bukan politik. Masih banyak jalan untuk hidup jadi tidak masalah," kata Andi.

Dalam perkara ini sudah enam orang yang dijatuhi hukuman, antara lain anggota Komisi V dari fraksi PDI-P Damayanti Wisnu Putrani yang divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, dan dua rekannya, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi yang divonis masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.

Selain mereka ada anggota Komisi V dari Golkar Budi Supriyanto yang divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider dua bulan kurungan, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary divonis enam tahun penjara dan Abdul Khoir divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.

Tiga orang lagi masih berstatus tersangka, yaitu Wakil Ketua Komisi V dari fraksi PKS Yudi Widiana Adia, anggota Komisi V dari fraksi PKB Musa Zainuddin dan pemilik PT Cahaya Mas Maluku So Kok Seng alias Aseng.


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017