Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Panitia Khusus revisi Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme, Supiadin menilai modus "lone wolf" yang dilakukan teroris diakui susah untuk dideteksi aparat intelijen.

Karena itu, upaya pencegahannya perlu melibatkan masyarakat luas.

"Konsep pencegahan dalam revisi UU Terorisme yang sedang disusun, memberikan akses masyarakat untuk deteksi para teroris," kata Supiadin di Gedung Nusantara III, Jakarta, Senin.

Hal itu dikatakannya terkait peristiwa penusukan yang dialami dua personel Brimob di Masjid Falatehan Blok M pada Jumat (30/6) malam.

Supiadin menjelaskan dalam revisi UU Terorisme, juga akan diberikan peran yang luas kepada aparat keamanan dan intelijen untuk melakukan deteksi dini dan pencegahan tindak pidana terorisme.

Politisi Partai Nasdem itu menjelaskan konsep pencegahan yang akan diaktifkan seperti kalau ada kegiatan atau rapat umum yang berisi hujatan, ujaran kebencian dan ajakan melawan pemerintah maka bisa ditangkap.

"Selama ini kegiatan seperti itu tidak bisa ditangkap karena tidak ada dasar hukum dan (berlindung di balik) hak demokrasi," ujarnya.

Supiadin menjelaskan fenomena "lone wolf terorist" merupakan modus teroris perseorangan yang sebelumnya menggunakan bom namun sekarang dengan pisau.

Namun dia menilai modus tersebut harus dipertanyakan kembali, apakah para terduga teroris tersebut sudah kehabisan bahan baku bom lalu dialihkan ke perseorangan yang lebih mudah bergerak dan sulit dideteksi.

"Mereka muncul di tempat yang tidak terduga dengan sistem keamanan relatif lemah seperti masjid yang tidak menggunakan sistem keamanan," ujarnya.

Dia menyarankan agar masyarakat menggunakan pola pikir keamanan atau "security minded" dalam setiap aktifitasnya, misalnya setiap berkunjung ke sebuah tempat harus dipastikan keamanannya.

Hal itu menurut dia diperlukan karena modus "lone wolf" yang dijalankan, apabila target utama tidak tercapai maka warga masyarakat akan menjadi sasaran.

"Misalnya mau ke sebuah tempat harus dipastikan keamanannya, jangan kerena terburu-buru lalu lupa faktor keamanan sehingga harus ditanamkan," katanya.

Sebelumnya, dua anggota Brimob, yakni AKP Dede Suhatmi dan Briptu M. Syaiful Bahtiar menjadi korban penikaman orang tak dikenal di Mesjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (30/6) malam.

Peristiwa itu terjadi usai pelaksanaan shalat Isya berjamaah di Masjid Falatehan pada Jumat malam sekitar pukul 19.40 WIB. Seorang tidak dikenal tiba-tiba menikam dua anggota Brimob tersebut yang posisi shalatnya tidak jauh dari pelaku, dengan menggunakan pisau sangkur.

Dalam perkembangannya diketahui pelaku bernama Mulyadi merupakan pedagang kosmetik di Pasar Roxy Bekasi selama satu tahun.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol Rikwanto mengemukakan, Mulyadi merupakan simpatisan organisasi teroris ISIS.

Menurut Brigjen Rikwanto, Mulyadi terkooptasi paham radikal setelah ia mempelajari materi-materi yang ada di situs radikal.

"Dia juga ikut dalam sejumlah grup messenger yang bernuansa radikal," katanya.

Sementara dilihat dari keterangan saksi dan barang bukti yang ada, polsi menduga Mulyadi hanya merupakan simpatisan ISIS dan tidak bergabung dengan kelompok jaringan teror mana pun yang ada di Indonesia.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017