Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menyatakan penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sudah sesuai prosedur.

Hal tersebut merupakan salah satu pertimbangan Hakim Tunggal Effendi Mukhtar untuk menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan Syafruddin Arsyad Tumenggung itu.

"Hakim praperadilan berpendapat bahwa prosedur penetapan tersangka yang dilakukan termohon sudah mememuhi bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang mengacu kepada Pasal 184 KUHAP," kata Hakim Tunggal Effendi Mukhtar saat pembacaan putusan praperadilan Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu.

Hakim Effendi menyatakan bahwa bukti-bukti dari adanya keterangan saksi, keterangan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dan alat bukti surat sudah memenuhi sahnya penetapan tersangka tersebut.

"Sehingga penetapan tersangka terhadap diri pemohon sudah sah dan berdasarkan hukum sehingga petitum pemohon yang menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan termohon adalah tidak sah adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak," kata Hakim Effendi.

Selanjutnya, Hakim Effendi menyatakan bahwa karena petitum utama yaitu menyatakan tindakan termohon telah menetapkan pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah telah ditolak maka permintaan permohon lainnya tidak mengikat dan juga harus ditolak seluruhnya.

Kemudian pertimbangan Hakim Effendi menyatakan bahwa KPK masih berwenang dalam penuntutan kasus BLBI yang menjerat Syafruddin Arsyad Tumenggung karena belum daluwarsa sesuai Pasal 78 KUHP.

Tindak pidana yang didakwakan kepada pemohon adalah melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sesuai Pasal 78 KUHP, Hakim berpendapat penuntutan kasus Syafruddin adalah 18 tahun terhitung setelah dilakukannya tindak pidana terhadap yang bersangkutan.

"Tindak pidana yang diduga dilakukan oleh pemohon daluwarsa dihitung 27 April 2004, maka daluwarsa kasus itu 27 April 2022. Pemohon ditetapkan tersangka pada 20 Maret 2017 maka belum dapat dikategorikan daluwarsa," ucap Hakim Effendi.

Terkait hal tersebut, Hakim Effendi juga sependapat dengan kesaksian dari ahli Hukum Pidana Adnan Paslydja yang dihadirkan KPK pada sidang praperadilan itu.

KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017