Bogor (ANTARA News) - Para pekerja PT Great River Indonesia (GRI) yang menuntut pembayaran pesangon dan pembatalan eksekusi lelang aset perusahaan tempat mereka bekerja yang telah pailit, Selasa sore, melanjutkan aksinya ke DPR-RI Senayan, Jakarta. "Kami merasa puas, karena aspirasi para pekerja PT GRI direspons positif oleh anggota DPR-RI," kata Ketua DPC SPN Kabupaten Bogor, Iwan Kusmawan saat dihubungi ANTARA. Sekitar 500 pekerja PT GRI yang didampingi pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) diterima Komisi IX DPR-RI di ruang komisi Gedung DPR-RI Senayan, Jakarta, Selasa. Para pekerja itu berasal dari PT GRI Cibinong, Jakarta, Cikarang, dan Purwakarta. Dialog dipimpin Ketua Komisi IX DPR-RI, Ribka Tjitaning bersama anggota komisi dengan para pekerja PT GRI yang didampingi pengurus SPN yakni Ketua Tim Advokasi DPP SPN Baso Rukman Abdul Jihad, Wakil Ketua DPD SPN Jawa Barat Waras Wasisto, Ketua DPC SPN Kabupaten Bogor Iwan Kusmawan, dan Ketua PUK SPN PT GRI Achmad Syarifuddin. Dari dialog yang dilakukan selama sekitar satu jam, pada pukul 16.15 hingga 17.15, disepakati Komisi IX akan turun mengecek ke lapangan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, PN Kota Bogor, dan PN Cibinong, pada Kamis (7/6), karena pada Jumat (8/6) akan dilakukan lelang aset lagi ke PN Cibinong. Menurut Iwan Kusmawan, dalam dialog tersebut Komisi IX menilai, mekanisme eksekusi lelang aset PT GRI yang sedang dilakukan saat ini, cacat hukum, karena eksekusi lelang aset perusahaan yang pailit tidak bisa dilakukan dia dua tempat terpisah, yakni di PN Jakarta Selatan dan PN Cibinong. Apalagi, yang membuat putusan eksekusi lelang itu adalah PN Kota Bogor. "Penilaian itu disampaikan setelah Komisi IX berdiskusi dengan Biro Hukum DPR-RI," katanya. Karena itu, kata dia, Komisi IX akan mengecek ke PN Jakarta Selatan, PN Kota Bogor, dan PN Cibinong sekaligus berdialog dengan pimpinan PN. "Komisi IX akan meminta klarifikasi terhadap PN soal keabsahan mekanisme eksekusi lelang aset," katanya. Demonstrasi Sehari (4/6) sebelumnya, para pekerja PT GRI tersebut melakukan aksi unjuk rasa di halaman PN Kota Bogor, menuntut dibatalkannya eksekusi lelang aset PT GRI yang telah dilakukan PN Cibinong, pada Kamis (31/5). Ketua Tim Advoksi DPP SPN, Baso Rukman Abdul Jihad mengatakan, eksekusi lelang aset PT GRI yang dilakukan PN Cibinong, ada rekayasa karena penetapan eksekusi lelang diterbitkan oleh PN Kota Bogor sedangkan PT GRI berlokasi di Cibinong, Kabupaten Bogor, dan waktu penetapan dan eksekusi juga bersamaan. Selain itu, nilai lelang sangat kecil, yakni hanya Rp47,750 miliar. Waras Wasisto juga mensinyalir rekayasa dalam eksekusi lelang aset PT GRI, karena Bank Mega yang mengajukan permohonan eksekusi ke ke tiga lokasi, yakni PN Cibinong, PN Kota Bogor, dan PN Jakarta Selatan. Ia minta kepada Kepala PN Kota Bogor agar memiliki hati nurani untuk berempati kepada nasib pekerja. Sedangkan Iwan Kusmawan meminta agar Kepala PN Kota Bogor segera membatalkan eksekusi lelang yang sudah dilakukan PN Cibinong karena dinilai ada rekayasa dan nilai lelang tidak sesuai dengan nilai aset. Menurut dia, nilai lelang hanya Rp47,750 miliar. Padahal, nilai aset PT GRI yang dilelang, berupa tanah, bangunan, mesin-mesin, serta peralatannya sekitar Rp460 miliar. Sedangkan, tuntutan para pekerja PT GRI sebesar Rp155 miliar. "Pemenang lelang adalah PT Samudera Biru yang berdomisili di Jakarta. Kami menduga lelang ini hanya rekayasa, dari dia untuk dia," katanya. Dalam dialog dengan wakil ketua PN Kota Bogor, Binsar Pakpahan, ia mengusulkan ada dua opsi yang bisa ditempuh oleh pekerja PT GRI. Pertama, agar pekerja mengajukan permohonan sita jaminan aset melalui pengadilan PHI (Perselisihan Hubungan Industrial) atau mengajukan gugatan terhadap PT GRI dan PT Bank Mega melalui PN Kota Bogor, agar uang hasil lelang bisa ditahan dan distatus quo-kan. "Kalau penetapan dari PHI sudah terbit, agar segera dikirimkan ke PN Bogor, sehingga PN Bogor bisa menahan uang hasil lelang itu," katanya. Opsi kedua, kata dia, agar para pekerja PT GRI menggugat PT GRI dan PT Bank Mega melalui PN Kota Bogor. Namun, opsi kedua ini prosesnya lebih sulit dan lebih lama. "Dari dua opsi tersebut, saya menyarankan agar pekerja menempuh opsi pertama, karena waktunya lebih cepat," kata Binsar Pakpahan.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007