Banda Aceh (ANTARA News) - Riansyahputra(12), bocah yang kehilangan kedua orangtuanya dalam peristiwa tsunami, 26 Desember 2004, kini kembali ke desanya di Ulee Lheue Kota Banda Aceh, setelah lebih dua tahun disekap seseorang di Kota Medan, Sumatera Utara. Di hadapan aparat kepolisian Polsek Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, Rabu, Riansyahputra mengaku berhasil meloloskan diri dari sekapan di Medan setelah mendengar informasi bahwa ia akan dijual ke Malaysia, seharga Rp10 juta. "Saat itu saya mendengar informasi dari orang-orang di tempat tinggal di Medan bahwa saya mau dijual ke Malaysia. Setelah mendengar itu saya minta izin kencing, kemudian langsung kabur," katanya didampingi Kapolsek Ulee Lheue Ipda T Chairul Waddin. Namun, ia menyatakan tidak ingat alamat tempat penyekapannya di Kota Medan. "Tapi kalau di Medan itu saya tahu tempatnya. Di sana masih ada teman saya yang juga korban tsunami dari Ulee Lheue. Teman itu lebih besar sedikit dari saya," ujar dia. Riansyahputra menjelaskan, selama dua tahun dalam penyekapan ia dipekerjakan sebagai tukang semir sepatu yang hasilnya diambil sendiri oleh orang yang menyekapnya. "Saya tidak tahu siapa orang itu. Tugas kami menyemir sepatu setiap hari dijaga ketat orang itu. Setelah selesai tugas dibawa pulang lagi ke rumah dan tidak boleh keluar," tambahnya. Riansyahputra yang terlihat polos menceritakan kronologis melarikan dari dari penyekapan di Kota Medan dan berhasil menemui orang Aceh yang berada di kota tersebut. Akhirnya, dia kembali ke Aceh dengan kendaraan L300. "Saat itu saya langsung lari dari rumah penyekapan ke terminal `Pelangi` di Kota Medan. Kepada kondektur saya bilang mau ke Kota Banda Aceh. Kemudian, dengan mobil L-300, saya pulang dan sempat berhenti di Sigli sebelum ke Kota Banda Aceh," tuturnya. Selanjutnya supir L-300 itu langsung mengantarkannya ke Ulee Lheue. "Saya turun dijalan, tapi saya tidak tahu kemana karena rumah di Ulee Lhue itu tidak ada lagi yang akhirnya sampai diambil seorang perempuan dan tidur di rumahnya (masih di Ulee Lheue)," kata dia. Ia mengaku saat tsunami terjadi ia masih duduk di bangku kelas-4 SD. Ia menyebutkan nama ayahnya biasa dipanggil Bang Em, ibunya Darnuriati dan kakak tertuanya Frangki. "Ketika musibah itu terjadi, saya terlempar di atas atap masjid--samping rumah. Kemudian, sehari setelah itu saya diturunkan dari Masjid dan ditolong seseorang, kemudian dengan mobil dibawa sampai ke Medan," ujar dia menceritakan peristiwa itu. "Orangtua saya jualan dan tempat tinggal (rumah) kami sebelum tsunami bersebelahan dengan Masjid Ulee Lheue," katanya lagi. Sementara Kepala Dusun Tongkol, Ulee Lheue, Agus, membenarkan bahwa Riansyahputra adalah anak dari pasangan Bang Em-Darnuriati. "Saya ingat dia, ketika bertemu dua hari lalu sebelum saya laporkan ke Polsek," ujarnya. "Ingatan anak ini (Riansyahputra) sangat kuat. Pertama saya masih ragu, namun ketika ia menceritakan saat kami terdampar di atas menara Masjid Ulee Lheue, baru saya ingat bahwa benar ia anaknya pasangan Bang Em dan Darnuriati, warga kami," kata Agus. Ia menjelaskan, kedua orangtuanya dipastikan meninggal dunia dalam peristiwa tsunami. "Akan tetapi, Franki (abang kandung Riansyahputra) pernah kembali ke desa tiga bulan setelah tsunami, tapi kini tidak tahu lagi dimana," kata Agus. Kapolsek Ulee Lheue, Ipda T Chairul Waddin, menjelaskan untuk sementara akan dilaporkan ke pimpinan dan bocah tersebut untuk sementara diserahkan ke petugas di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Mapoltabes Banda Aceh. "Di RPK ada petugas yang menanggani langsung. Polisi tentunya akan mengembangkan penyelidikan kasus yang diduga mengarah kepada upaya perdagangan anak," kata dia.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007