Jakarta (ANTARA News) - Psikolog asal Los Angeles, Michelle Stevens masih ingat kala usia 8 tahun pernah menjadi korban seorang pedofil sadis.

Penulis buku “Scared Selfless: My Journey From Abuse and Madness to Surviving and Thriving” itu berkisah sang pelaku yang berprofesi sebagai guru bahkan masih menerornya hingga enam tahun usai kejadian.

"Saat aku berusia 8 tahun, pedofil sadis memilihku menjadi korbannya. Dia menerorku hingga enam tahun setelahnya dan membuatku ketakutan sepanjang hidup," tutur Stevens seperti dilansir laman the New York Times.

Sudah ada puluhan murid yang menjadi korban sang guru selama kurun dua dekade. Kasus serupa terulang dan memakan korban baru. Kali ini menimpa para murid di sekolah asrama Choate Rosemary Hall di kawasan Wallingford, Connecticut, Amerika Serikat pada April 2017 lalu.

"Kejahatan seksual pada murid selama bertahun-tahun terjadi tanpa akhir, pelaku sangat terampil memilih korbannya," kata Stevens.

Dia mengatakan, pedofil biasanya mengincar anak-anak yang kurang rasa percaya dirinya, karena tipe anak seperti ini tak bisa bilang kata tidak. Anak-anak ini juga terlalu takut bilang pada orang lain kalau mereka telah dianiaya.  

Pedofil sangat pandai menipu orang tua. Inilah yang dilakukan pelaku yang menyerang Stevens pada orang tua Stevens.

"Pelaku menyakinkan ibuku kalau dia adalah pria yang baik dan bisa dipercaya. Ibuku percaya padanya. Dia lalu mengiyakan tawaran pelaku menjaga anaknya.

Ibuku berpikir, akan lebih aman untukku bila bersama pria itu ketimbang aku berjalan sendirian dari rumah ke sekolah," papar Stevens.

Stevens yang kini sudah memiliki seorang anak berusia 11 tahun itu menyadari kalau kebanyakan orang tua akan berpikir seperti ibunya dulu.

Sebagai psikolog dan orang yang paham soal pelecehan anak, dia mengatakan pemikiran ini salah. Sekitar 90 persen kasus pelecehan dan kejahatan seksual pada anak dilakukan pelaku yang sudah dikenal anak. Yang paling sering adalah seseorang dari keluarga atau orang yang anak kenal, misalnya guru, pelatih atau bahkan pendeta.

"Ironis, kita memasukkan anak dalam kegiatan edukasi, atau olahraga agar mereka aman, tapi justru kita menempatkan mereka dalam bahaya ketimbang membiarkan mereka bermain bersama teman-temannya," kata Stevens.

Penelitian menunjukkan, saat orang tua tak membiarkan anak-anak menghadapi tantangan dan membuat keputusan sendiri, sama saja mengambil kesempatan mengembangkan rasa percaya diri dan keterampilan manajemen risiko mereka.

Dengan kata lain, orang tua menjadikan anak-anak mereka menjadi sasaran empuk bagi predator.

"Itulah mengapa aku selalu mendorong anakku melakukan apa yang dia inginkan. Saat dia berusia 3 bulan, aku membiarkannya menangis, dia akhirnya tertidur tanpa perlu kubantu," kata Stevens.

"Lalu, saat dia berusia 7 tahun, aku mulai membiarkannya sendirian di rumah selama beberapa lama. Lalu di usia 9 tahun, kala dia ingin pergi sedikit menjauh dari kotanya, aku membiarkannya," sambung dia.

Stevans tahu ini tak mudah baginya. Ketakutan hal buruk menimpa anaknya tetap ada.

"Tapi aku juga tahu bahwa cara terbaik untuk melindungi anakku dari orang jahat adalah membiarkan dia berlatih menggunakan akal sehatnya untuk bertahan hidup," ujar dia.


Kasus guru yang ternyata seorang pedofil juga terjadi Indonesia. WS alias Babeh yang merupakan guru honorer diduga melakukan aksi sodomi terhadap 41 orang anak laki-laki di Kampung Sakem, Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang. Dia mengaku melakukan kejahatan ini karena telah lama ditinggal istrinya yang bekerja sebagai TKW di Malaysia.



Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018