Washington (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani perintah pada Selasa untuk tetap membuka pusat penahanan militer di teluk Guantanamo setelah Barack Obama tidak berhasil menutup penjara itu, yang menimbulkan kecaman dunia.

Dalam pidato kenegaraan pertamanya di Kongres, Trump memastikan memenuhi janji kampanyenya untuk terus menjalankan kegiatan penjara untuk tersangka teroris asing di pangkalan militer AS di Guantanamo, Kuba.

"Saya baru saja menandatangani perintah untuk mengarahkan Menteri Pertahanan (Jim) Mattis untuk memeriksa kembali kebijakan penahanan militer kita dan untuk tetap membuka sarana penahanan di teluk Guantanamo," kata Trump.

Perintah presiden itu mengesahkan langkah militer AS menambahkan tahanan dan menyarankan kemungkinan bahwa petempur IS dapat dikirim ke sana untuk pertama kali.

Obama menandatangani perintah pada hari pertamanya menjabat pada 2009, yang memerintahkan upaya menutup Guantanamo dalam waktu satu tahun, namun rencananya digagalkan oleh sebagian besar oposisi Partai Republik di Kongres. Sebagai gantinya, pemerintahannya mengurangi jumlah tawanan menjadi 41 dari 242 selama delapan tahun masa jabatannya.

Penjara yang dibuka oleh Presiden George W. Bush untuk menahan tersangka militan yang ditangkap di luar negeri setelah serangan 11 September 2001, melambangkan praktik penahanan keras yang membuka tuduhan penyiksaan pada AS.

Sebagai calon presiden, Trump berjanji memenuhi penjara tersebut para pelaku kejahatan. Sejak dia menjadi presiden setahun yang lalu, tidak ada indikasi ada tahanan baru yang datang.

"Di masa lalu, dengan bodohnya kami telah membebaskan ratusan dan ratusan teroris berbahaya, hanya untuk bertemu mereka lagi di medan perang - termasuk pemimpin IS, (Abu Bakr) al-Baghdadi, yang kami tangkap, yang kami miliki, yang kami lepaskan," kata Trump dalam pidatonya, merujuk pada kelompok garis keras tersebut.

Pengamat Hak Asasi Manusia Suriah mengatakan pada Juli bahwa Baghdadi telah terbunuh. Tentara Amerika menangkapnya di awal perang di Irak, dan membebaskannya setahun kemudian, mengira dia adalah seorang penghasut sipil ketimbang sebagai ancaman militer.

Kelompok kebebasan sipil segera mengecam perintah eksekutif, dan Pusat Hak Konstitusional mengatakan akan mengajukan tuntutan hukum.

"Dengan memberikan kehidupan baru kepada penjara itu, yang melambangkan langkah mundur Amerika pada penyiksaan dan penahanan tidak sah, Trump tidak akan membuat negara ini lebih aman," demikian Hina Shamsi, direktur di Serikat Kebebasan Warga Amerika Serikat, demikian Reuters melaporkan.

(Uu.KR-DVI/B002)

Pewarta: antara
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018