Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi para terdakwa perkara dugaan korupsi pembelian Helikopter MI-17 dan memerintahkan dilanjutkannya pemeriksaan perkara tersebut. Dalam putusan sela yang dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai Agung Raharjo pada sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis, eksepsi para terdakwa dinilai telah memasuki materi pokok perkara. Dalam eksepsinya, para terdakwa membantah tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan justru mengaku melakukan perbuatan sesuai hukum karena perintah jabatan. "Untuk mengetahui apakah perbuatan terdakwa satu hingga empat merupakan perbuatan melawan hukum atau sesuai dengan hukum, maka eksepsi para terdakwa harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata Agung. Eksepsi para terdakwa, lanjut dia, harus dibuktikan kebenarannya melalui pemeriksaan bukti dan fakta di persidangan. Majelis hakim menilai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah sah secara hukum karena telah memuat uraian dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai dengan pasal 143 ayat 2 KUHAP. Majelis juga menyatakan, dakwaan JPU telah jelas menguraikan perbuatan yang didakwakan, yaitu secara bersama-sama membayar uang muka pembelian empat helikopter jenis MI-17 tanpa disertai bank garansi. Dalam putusan selanya, majelis hakim juga menolak keberatan dari kuasa hukum terdakwa satu, Brigjen TNI (Purn) Prihandono, tentang penahanannya yang dinilai tidak sah. Prihandono menilai perpanjangan penahanannya oleh Ketua PN Jakarta Pusat tidak sah karena sesuai dengan UU Peradilan Militer, yang berhak menahan adalah atasan yang menghukum. Majelis hakim mengatakan persoalan penahanan tidak termasuk dalam ruang lingkup eksepsi dan seharusnya menjadi kewenangan praperadilan. Meski demikian, majelis menyatakan setelah berkas perkara MI-17 dilimpahkan oleh JPU kepada PN Jakarta Pusat, maka kewenangan memperpanjang penahanan terdakwa berada pada Ketua PN Jakarta Pusat. Dalam perkara dugaan korupsi pembelian helikopter MI-17, Mantan Direktur Pelaksanaan Anggaran Ditjen Perencanaan Sistem Pertahanan Dephan, Brijen TNI Purn Prihandono, Mantan Kepala Pusat Keuangan Dephan Tardjani, Mantan Kepala KPKN Jakarta Khusus VI Marjono, dan rekanan pengadaan, Andy Kosasih diajukan ke persidangan. Prihandono didakwa pada 30 Desember 2002 secara melawan hukum mengirim surat kepada Kapuskeu Dephan tentang persetujuan penerbitan Surat Perintah Pembayaran (SPP) untuk pembayaran uang muka senilai 3,24 juta dolar AS tanpa dilampirkan bank garansi. Dalam suratnya, Prihandono menyatakan, SPP itu dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan efektifnya kontrak. Karena adanya surat Prihandono itu, terdakwa dua Tardjani selaku Kapuskeu Dephan kemudian menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran Pembangunan (SPPP) kepada Kepala KPKN Jakarta VI. Terdakwa III, Mardjono selaku Kepala KPKN Jakarta VI kemudian menerbitkan surat perintah membayar senilai 3,24 juta dolar AS dari rekening bendaharawan umum negara kepada rekening milik Swifth Air. Pada 30 Desember 2002, Andy Kosasih selaku agen Swifth Air di Indonesia telah membuat surat pernyataan berupa kesanggupan menyerahkan bank garansi uang muka. Andy kemudian menyerahkan bank garansi yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri pada 5 Mei 2004 berupa advance payment bond senilai 3,24 juta dolar AS dan performance bond senilai 1,080 juta dolar AS. Namun, setelah Dephan melakukan pengecekan, ternyata Bank Mandiri tidak pernah menerbitkan bank garansi yang diserahkan oleh Andy tersebut. Uang negara senilai 3,24 juta dolar AS atau setara Rp29,1 miliar yang terlanjur cair ke rekening milik Swifth Air oleh Andy kemudian diamankan ke rekening miliknya di Bank BNI. Para terdakwa didakwa telah memperkaya terdakwa empat, Andy Kosasih, senilai Rp29,1 miliar secara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam dakwaan primer, keempat terdakwa dijerat pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang secara melawan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Sedangkan dalam dakwaan subsider, keempatnya dijerat dengan pasal 3 jo pasal 18 UU yang sama, tentang penyalahgunaan wewenang atau jabatan. Sidang ditunda hingga Kamis, 12 Juli 2007 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan oleh JPU.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007